Sebagaimana yang telah
dikemukakan diatas bahwa ibadah yang tidak mengikuti syarat-syarat dan
ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh syara’, maka ia hanya akan
menjadi perbuatan yang sia-sia saja menurut pandangan Allah. Amalan itu tidak
diberi pahala, bahkan adakalanya mendatangkan dosa.
Ibadah adalah perkara
tauqifiyah yaitu tidak ada suatu bentuk ibadah yang disyari’atkan kecuali
berdasarkan al-Qur-an dan as-Sunnah. Apa yang tidak disyari’atkan berarti
bid’ah mardudah (bid’ah yang ditolak) sebagaimana sabda Nabi SAW:
“Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntunan
dari kami, maka amalan tersebut tertolak”.
Agar dapat diterima, ibadah
disyaratkan harus benar, dan ibadah itu tidak bisa dikatakan benar kecuali
dengan adanya dua syarat sebagai berikut:
1. Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar dan kecil.
2. Ittiba’, yaitu sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW.
Syarat yang pertama merupakan konsekuensi dari syahadat laa
ilaaha illallaah, karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allah
dan jauh dari syirik kepada-Nya. Sedangkan syarat kedua adalah konsekuensi dari
syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut wajibnya taat kepada Rasul,
mengikuti syari’atnya dan meninggal-kan bid’ah atau ibadah-ibadah yang
diada-adakan.
Allah SWT berfirman:
”(Tidak
demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia
berbuat kebajikan, Maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (Q.S. Al-Baqarah: 112)
Menyerahkan diri maksudnya
memurnikan ibadah kepada Allah, dan berbuat kebajikan artinya mengikuti
Rasul-Nya.
Syaikhul Islam mengatakan
bahwa inti agama ada dua pilar yaitu kita tidak beribadah kecuali hanya kepada
Allah, dan kita tidak beribadah kecuali dengan apa yang Dia syari’atkan, tidak
dengan bid’ah. Sebagaimana Allah berfirman:
“Katakanlah
(hai Muhammad): Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang
diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang
Esa". barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia
mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam
beribadat kepada Tuhannya”. (Q.S. Al-Kahfi: 110).
Hal yang demikian itu
merupakan manifestasi (perwujudan) dari dua kalimat syahadat “Laa ilaaha
illallaah, Muhammad Rasulullah”. Pada yang pertama, kita tidak beribadah
kecuali kepada-Nya. Pada yang kedua, bahwasanya Muhammad SAW adalah utusan-Nya
yang menyampaikan ajaran-Nya. Maka kita wajib membenarkan dan mempercayai
beritanya serta mentaati perintahnya. Beliau SAW telah menjelaskan bagaimana
cara kita beribadah kepada Allah, dan beliau SAW melarang kita dari hal-hal
baru atau bid’ah. Beliau SAW mengatakan bahwa semua bid’ah itu sesat.
Bila ada orang yang bertanya “Apa
hikmah di balik kedua syarat bagi sahnya ibadah tersebut?” Jawabnya adalah
sebagai berikut:
1. Sesungguhnya
Allah memerintahkan untuk mengikhlaskan ibadah kepada-Nya semata. Maka,
beribadah kepada selain Allah di samping beribadah kepada-Nya adalah
kesyirikan. Allah SWT berfirman:
“Sesunguhnya
Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al-Quran) dengan (membawa) kebenaran. Maka
sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya”. (Az-Zumar:
2)
2. Sesungguhnya
Allah mempunyai hak dan wewenang Tasyri’ (memerintah dan melarang). Hak Tasyri’
adalah hak Allah semata. Maka, barangsiapa beribadah kepada-Nya bukan dengan
cara yang diperintahkan-Nya, maka ia telah melibatkan dirinya di dalam Tasyri’.
3. Sesungguhnya
Allah telah menyempurnakan agama bagi kita. Sebagaimana Firman Allah dalam
surat Al-Maidah ayat 3 berikut ini:§
“…. pada
hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan
telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena
kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang”
Berdasarkan ayat tersebut, maka orang yang membuat tata
cara ibadah sendiri dari dirinya, berarti ia telah menambah ajaran agama dan
menuduh bahwa agama ini tidak sempurna (mempunyai kekurangan).
4. Dan
sekiranya boleh bagi setiap orang untuk beribadah dengan tata cara dan
kehendaknya sendiri, maka setiap orang menjadi memiliki caranya tersendiri
dalam ibadah. Jika demikian halnya, maka yang terjadi di dalam kehidupan
manusia adalah kekacauan yang tiada taranya karena perpecahan dan pertikaian
akan meliputi kehidupan mereka disebabkan perbedaan kehendak dan perasaan,
padahal agama Islam mengajarkan kebersamaan dan kesatuan menurut syari’at yang
diajarkan Allah dan Rasul-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar