Laman

Selasa, 13 Maret 2012

Syarat Diterimanya Ibadah


Sebagaimana yang telah dikemukakan diatas bahwa ibadah yang tidak mengikuti syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh syara’, maka ia hanya akan menjadi perbuatan yang sia-sia saja menurut pandangan Allah. Amalan itu tidak diberi pahala, bahkan adakalanya mendatangkan dosa.
Ibadah adalah perkara tauqifiyah yaitu tidak ada suatu bentuk ibadah yang disyari’atkan kecuali berdasarkan al-Qur-an dan as-Sunnah. Apa yang tidak disyari’atkan berarti bid’ah mardudah (bid’ah yang ditolak) sebagaimana sabda Nabi SAW:
“Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak”.
Agar dapat diterima, ibadah disyaratkan harus benar, dan ibadah itu tidak bisa dikatakan benar kecuali dengan adanya dua syarat sebagai berikut:
1. Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar dan kecil.
2. Ittiba’, yaitu sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW.

          Syarat yang pertama merupakan konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illallaah, karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allah dan jauh dari syirik kepada-Nya. Sedangkan syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut wajibnya taat kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan meninggal-kan bid’ah atau ibadah-ibadah yang diada-adakan.
          Allah SWT berfirman:
”(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, Maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (Q.S. Al-Baqarah: 112)

Menyerahkan diri maksudnya memurnikan ibadah kepada Allah, dan berbuat kebajikan artinya mengikuti Rasul-Nya.
Syaikhul Islam mengatakan bahwa inti agama ada dua pilar yaitu kita tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah, dan kita tidak beribadah kecuali dengan apa yang Dia syari’atkan, tidak dengan bid’ah. Sebagaimana Allah berfirman:
“Katakanlah (hai Muhammad): Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”. (Q.S. Al-Kahfi: 110).

Hal yang demikian itu merupakan manifestasi (perwujudan) dari dua kalimat syahadat “Laa ilaaha illallaah, Muhammad Rasulullah”. Pada yang pertama, kita tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Pada yang kedua, bahwasanya Muhammad SAW adalah utusan-Nya yang menyampaikan ajaran-Nya. Maka kita wajib membenarkan dan mempercayai beritanya serta mentaati perintahnya. Beliau SAW telah menjelaskan bagaimana cara kita beribadah kepada Allah, dan beliau SAW melarang kita dari hal-hal baru atau bid’ah. Beliau SAW mengatakan bahwa semua bid’ah itu sesat.
Bila ada orang yang bertanya “Apa hikmah di balik kedua syarat bagi sahnya ibadah tersebut?” Jawabnya adalah sebagai berikut:
1. Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk mengikhlaskan ibadah kepada-Nya semata. Maka, beribadah kepada selain Allah di samping beribadah kepada-Nya adalah kesyirikan. Allah SWT berfirman:
“Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al-Quran) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya”. (Az-Zumar: 2)

2. Sesungguhnya Allah mempunyai hak dan wewenang Tasyri’ (memerintah dan melarang). Hak Tasyri’ adalah hak Allah semata. Maka, barangsiapa beribadah kepada-Nya bukan dengan cara yang diperintahkan-Nya, maka ia telah melibatkan dirinya di dalam Tasyri’.

3. Sesungguhnya Allah telah menyempurnakan agama bagi kita. Sebagaimana Firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 3 berikut ini:§
“…. pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”

Berdasarkan ayat tersebut, maka orang yang membuat tata cara ibadah sendiri dari dirinya, berarti ia telah menambah ajaran agama dan menuduh bahwa agama ini tidak sempurna (mempunyai kekurangan).

4. Dan sekiranya boleh bagi setiap orang untuk beribadah dengan tata cara dan kehendaknya sendiri, maka setiap orang menjadi memiliki caranya tersendiri dalam ibadah. Jika demikian halnya, maka yang terjadi di dalam kehidupan manusia adalah kekacauan yang tiada taranya karena perpecahan dan pertikaian akan meliputi kehidupan mereka disebabkan perbedaan kehendak dan perasaan, padahal agama Islam mengajarkan kebersamaan dan kesatuan menurut syari’at yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar