Ibadah adalah perkara
tauqifiyah . Artinya tidak ada suatu bentuk ibadah pun yang disyari'atkan
kecuali berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Apa yang tidak disyari'atkan
berarti bid'ah mardudah (bid'ah yang ditolak), sebagaimana yang telah
dijelaskan diatas.
Maksudnya, amalnya ditolak dan
tidak diterima, bahkan ia ber-dosa karenanya, sebab amal tersebut adalah
maksiat, bukan ta'at. Ke-mudian manhaj yang benar dalam pelaksanaan ibadah yang
di-syari'atkan adalah sikap pertengahan. Antara meremehkan dan malas dengan
sikap ekstrim serta melampaui batas. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“Maka
tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan
(juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas.
Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan. (Q.S.
Hud: 112)
Ayat al-Qur'an ini adalah
garis petunjuk bagi langkah manhaj yang benar dalam pelaksanaan ibadah. Yaitu
dengan ber-istiqamah dalam melaksanakan ibadah pada jalan tengah, tidak kurang
atau le-bih, sesuai dengan petunjuk syari'at (sebagaimana yang diperintahkan
padamu).
Ketika Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam mengetahui bahwa tiga orang dari sahabatnya melakukan ghuluw
dalam ibadah, di mana seorang dari mereka berkata, "Saya puasa terus
dan tidak berbuka", dan yang kedua berkata, "Saya shalat terus
dan tidak tidur", lalu yang ketiga berkata, "Saya tidak
menikahi wanita". Maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda
yang artinya:
“Adapun saya, maka saya berpuasa dan berbuka,
saya shalat dan tidur, dan saya menikahi perempuan. Maka barangsiapa tidak
menyukai jejakku maka dia bukan dari (bagian atau golongan)-ku”. (H.
R. Bukhari dan Muslim)
Ada dua golongan yang saling
bertentangan dalam soal ibadah. Kedua golongan tersebut adalah:
1. Golongan Pertama
Golongan ini mengurangi makna
ibadah serta mere-mehkan pelaksanaannya. Mereka meniadakan berbagai macam
ibadah dan hanya melaksanakan ibadah-ibadah yang terbatas pada syi'ar-syi'ar
tertentu dan sedikit, yang hanya diadakan di masjid-masjid saja. Tidak ada
ibadah di rumah, di kantor, di toko, di bidang sosial, politik, juga tidak
dalam peradilan kasus sengketa dan dalam perkara-perkara kehidupan lainnya.
Memang mesjid mempunyai keistimewaan
dan harus dipergunakan dalam shalat fardhu lima waktu. Akan tetapi ibadah
mencakup seluruh aspek kehidupan muslim, baik di masjid maupun di luar masjid.
2. Golongan Kedua
Golongan
ini bersikap berlebih-lebihan dalam praktek ibadah sampai pada batas ekstrim;
yang sunnah mereka angkat sampai menjadi wajib, sebagaimana yang mubah mereka
angkat menjadi haram. Mereka menghukumi sesat dan salah orang yang menyalahi
manhaj mereka, serta menyalahkan pemahaman-pemahaman lainnya.
Padahal
sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa
sallam dan seburuk-buruk perkara adalah yang bid'ah.
Pada
dasarnya ibadah itu berlandaskan pada tiga pilar sentral, yaitu: hubb (cinta), khauf
(takut) dan raja' (harapan). Rasa cinta harus dibarengi dengan sikap rasa
rendah diri, se-dangkan khauf harus dibarengi dengan raja' . Dalam setiap
ibadah harus terkumpul unsur-unsur ini. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman tentang
sifat hamba-hamba-Nya yang mukmin:
“Hai
orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya,
maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan
merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin,
yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah,
dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia
Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas
(pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui. (Q.S. Al-Ma'idah: 54)
Dan dalam ayat yang lain Allah
berfirman:
“Dan
diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain
Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. adapun
orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. dan jika seandainya
orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu
kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya
mereka menyesal)”. (Q.S. Al-Baqarah: 165).
Selanjutnya, dalam surat
al-Anbiya Allah menegaskan:
“Maka Kami
memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepada nya Yahya dan kami jadikan
isterinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu
bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa
kepada kami dengan harap dan cemas.
dan mereka adalah orang-orang yang khusyu' kepada kami. (Q.S.
Al-Anbiya': 90)
Sebagian ulama salaf berkata: "Siapa
yang menyembah Allah dengan rasa hubb (cinta) saja maka ia zindiq. Siapa yang
menyembah-Nya dengan raja' (harapan) saja maka ia adalah murji'. Dan siapa yang
menyembah-Nya hanya dengan khauf (takut) saja, maka ia adalah haruriy. Siapa
yang menyembah-Nya dengan hubb, khauf dan raja' maka ia adalah mukmin
muwahhid." Hal ini disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam
Risalah Ubudiyah.
Ibnu Qayyim berkata dalam
Nuniyah-nya: "Ibadah kepada Ar-Rahman adalah cinta yang dalam
kepada-Nya, beserta kepatuhan penyembahNya. Dua hal ini adalah ibarat dua
kutub. Di atas keduanyalah orbit ibadah beredar. Ia tidak beredar sampai
kedua kutub itu berdiri tegak. Sumbunya adalah perintah, perintah rasul-Nya. Bukan
hawa nafsu dan syetan."
Ibnu Qayyim menyerupakan
beredarnya ibadah di atas rasa cinta dan tunduk bagi yang dicintai, yaitu Allah
Subhanahu wa Ta'ala dengan beredarnya orbit di atas dua kutubnya. Beliau juga menyebutkan
bahwa beredarnya orbit ibadah adalah berdasarkan perintah rasul dan
syari'atnya, bukan berdasarkan hawa nafsu dan setan. Karena hal yang demikian
bukanlah ibadah. Apa yang disyari'atkan baginda Rasul Shallallahu 'alaihi wa
sallam itulah yang memutar orbit ibadah. Ia tidak diputar oleh bid'ah, nafsu
dan khurafat.
Penjelasan:
Yang dimaksud dengan orang yang zalim di sini
ialah orang-orang yang menyembah selain Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar