Laman

Jumat, 16 Maret 2012

Hakiqat Ibadah


Sebagaimana yang telah dijelaskan panjang lebar mengenai pengertian ibadah, kita dapat memahami bahwa ibadah adalah puncak perendahan diri yang dibarengi dengan puncak kecintaan. Imam Ibnu Katsir r.a berkata bahwa menurut pengertian syari’at ibadah itu adalah suatu ungkapan yang memadukan antara kesempurnaan rasa cinta, ketundukan, dan rasa takut.

Syaikh Shalih al-Fauzan berkata, “Sebagian ulama mendefinisikan ibadah sebagai kesempurnaan rasa cinta yang disertai kesempurnaan sikap tunduk:. Beliau juga menegaskan, “Ibadah yang diperintahkan itu harus mengandung unsur perendahan diri dan kecintaan. Ibadah ini mengandung tiga pilar; cinta, harap, dan takut. Ketiga unsur ini harus berpadu. Barangsiapa yang hanya bergantung kepada salah satu unsur saja maka dia belum dianggap beribadah kepada Allah dengan sebenarnya. Beribadah kepada Allah dengan modal cinta saja, maka ini adalah metode kaum Sufi. Beribadah kepada-Nya dengan modal rasa harap semata, maka ini adalah metode kaum Murji’ah. Adapun beribadah kepada-Nya dengan modal rasa takut belaka, maka ini adalah jalannya kaum Khawarij”.

Ibadah juga diartikan dengan tauhid. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat yang dibawakan oleh Imam Ibnu Katsir dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma mengenai maksud firman Allah:
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa” (QS. al-Baqarah: 21).

Mengenai ayat tersebut, beliau menjelaskan, “Artinya tauhidkanlah Rabb kalian…”

Di dalam kitabnya al-’Ubudiyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan bahwa ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, berupa perkataan atau perbuatan, yang tampak maupun yang tersembunyi). Dari sini, maka ibadah itu mencakup perkara hati (batin) dan juga perkara lahiriyah. Sehingga seluruh ajaran agama itu telah tercakup dalam istilah ibadah.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menerangkan di dalam Syarh Tsalatsat al-Ushul, bahwa pengertian ibadah bisa dirangkum sebagai berikut; suatu bentuk perendahan diri kepada Allah yang dilandasi dengan rasa cinta dan pengagungan dengan cara melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya sebagaimana yang dituntunkan dalam syari’at-Nya.

Lebih jauh, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Ibadah dibangun di atas dua perkara; cinta dan pengagungan. Dengan rasa cinta maka seorang akan berjuang menggapai keridhaan sesembahannya (Allah). Dengan pengagungan maka seorang akan menjauhi dari terjerumus dalam kedurhakaan kepada-Nya. Karena kamu mengagungkan-Nya maka kamu pun merasa takut kepada-Nya. Dan karena kamu mencintai-Nya, maka kamu pun berharap dan mencari keridhaan-Nya.”

Dari pengertian-pengertian di atas paling tidak kita dapat menarik satu kesimpulan penting bahwa sesungguhnya ibadah itu ditegakkan di atas rasa cinta dan pengagungan. Rasa cinta akan melahirkan harapan dan tunduk kepada perintah-Nya, sedangkan pengagungan akan menumbuhkan rasa takut dan mematuhi larangan-larangan-Nya. Selain itu, kita juga bisa mengerti bahwa pelaksanaan ibadah tidak bisa dilakukan secara sembarangan, namun harus mengikuti tuntunan para rasul ‘alaihimush sholatu was salam. Dalam konteks sekarang, maka kita semua harus mengikuti petunjuk dan ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, nabi dan rasul yang terakhir.

Ibadah atau amalan akan menjadi benar dan diterima di sisi Allah jika memenuhi dua syarat utama, yaitu ikhlas dan ittiba’. Sebagian ulama menambahkan syarat ketiga yaitu aqidah yang benar, sebagaimana disampaikan oleh Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali dalam Abraz al-Fawa’id Syarh Arba’ al-Qawaid.

Ikhlas artinya ibadah itu hanya diperuntukkan kepada Allah dan tidak dipersekutukan dengan selain-Nya. Ini merupakan kandungan dari syahadat laa ilaaha illallaah. Lawan dari ikhlas adalah syirik, riya’ dan sum’ah. Riya’ adalah beribadah karena ingin dilihat orang, sedangkan sum’ah adalah beribadah karena ingin didengar orang. Ittiba’ maksudnya adalah setia dengan tuntunan (sunnah) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak mereka-reka tata cara ibadah yang tidak ada tuntunannya. Ini merupakan kandungan dari syahadat wa anna Muhammadar rasulullah. Lawan dari ittiba’ adalah ibtida’ atau membuat bid’ah.

Allah ta’ala berfirman:
“Katakanlah (hai Muhammad): “Sesungguhnya Aku Ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”. (QS. al-Kahfi: 110).

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan bahwa amal salih ialah amalan yang sesuai dengan syari’at Allah, sedangkan tidak mempersekutukan Allah maksudnya adalah amalan yang diniatkan untuk mencari wajah Allah, inilah dua rukun amal yang akan diterima di sisi-Nya.

Sebagaimana orang yang tidak ikhlas amalannya tidak diterima, demikian pula orang yang tidak ittiba’ alias berbuat bid’ah, maka amalannya pun tidak diterima. Apalagi orang yang beribadah tanpa keikhlasan dan tanpa ittiba’. Oleh sebab itu para ulama, di antaranya Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah menafsirkan bahwa yang dimaksud ahsanu ‘amalan (amal yang terbaik) adalah amalan yang paling ikhlas dan paling benar. Firman Allah:
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”. (Q.S. al-Mulk: 2)

Ikhlas jika dikerjakan karena Allah, sedangkan benar jika dikerjakan dengan mengikuti sunnah (ajaran) Nabi, bukan dengan cara-cara bid’ah. Bid’ah adalah tata cara beragama yang diada-adakan dan menyaingi syari’at, dimaksudkan dengannya untuk berlebih-lebihan dalam ibadah kepada Allah ta’ala. Hal ini memberikan pelajaran berharga kepada kita bahwa syari’at Islam ini mengatur niat dan cara. Niat yang baik juga harus diwujudkan dengan cara dan sarana yang baik pula. Islam tidak mengenal kaidah ala Yahudi, yaitu tujuan menghalalkan segala cara.

Dengan demikian untuk beribadah dengan baik, seorang muslim harus memadukan antara shihhatil iradah (ketulusan niat) dengan shihhatul fahm (kelurusan pemahaman). Oleh sebab itu Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan bahwa kedua hal tadi (shihhatul iradahdan shihhatul fahm) merupakan anugrah dan nikmat terbesar yang diberikan Allah kepada seorang hamba. Ketulusan niat terwujud di dalam tauhid dan keikhlasan, sedangkan kelurusan pemahaman terwujud dalam ittiba’ kepada sunnah. Sehingga amat wajar jika para ulama sangat menekankan kedua pokok yang agung ini.

Hasbi  ash-Shiddiqy  menyatakan  bahwa hakikat  ibadah  adalah  ketundukan  jiwa  yang  timbul  karena  hati  (jiwa) merasakan  cinta  akan  Tuhan yang  ma'bud  (disembah)  dan  merasakan  kebesaran-Nya,  lantaran  beri'tikad bahwa  bagi  alam  ini  ada  kekuasaan  yang  akal  tidak  dapat  mengetahui hakikatnya".

Yusuf Qardhawi menyatakan bahwa dalam  syari'at  Islam,  ibadah mempunyai  dua  unsur,  yaitu  ketundukan  dan kecintaan yang paling dalam kepada Allah. Unsur yang tertinggi adalah  ketundukan,  sedangkan  kecintaan  merupakan  implementasi  dari  ibadah  tersebut.  Di  samping  itu,  ibadah  juga  mempunyai  unsur  kehinaan,  yaitu  kehinaan  yang  paling  rendah  di  hadapan  Allah.  Pada  mulanya  ibadah merupakan  hubungan,  karena  adanya  hubungan  hati  dengan  yang  dicintai, menuangkan  isi  hati,  kemudian  tenggelam  dan merasakan  keasyikan,  yang akhirnya sampai kepada puncak kecintaan kepada Allah.

Orang yang tunduk kepada orang lain serta mempunyai unsur kebencian tidak  dinamakan  'abid  (orang  yang  beribadah),  begitu  pula  orang  yang  cinta kepada  sesuatu  tetapi  tidak  tunduk kepadanya, seperti orang cinta kepada anak atau temannya. Kecintaan yang sejati adalah kecintaan kepada Allah. Apabila  makna  ibadah  yang  diberikan  oleh  masing-masing  ahli  ilmu diperhatikan  baik-baik,  nyatalah  bahwa  pengertian  yang  diberikan  oleh  satu golongan  menyempurnakan  pengertian  yang  diberikan  oleh  golongan  lain. Dengan  kata  lain,  masing-masing  pengertian  saling  melengkapi  dan menyempurnakan.  Oleh  karena  itu,  tidaklah  dipandang  telah  beribadah (sempurna  ibadahnya)  seorang  mukallaf  kalau  hanya  mengerjakan  ibadah-ibadah dalam pengertian  fuqaha  atau  ahli ushul  saja, melainkan di  samping  ia beribadah dengan  ibadah dalam pengertian  fuqaha  tersebut,  ia  juga melakukan ibadah dengan ibadah yang dimaksudkan oleh ahli tauhid, ahli hadis, ahli tafsir serta ahli akhlak. Maka apabila  telah  terkumpul pengertian-pengertian  tersebut, barulah terdapat padanya hakikat ibadah.

Allah telah ciptakan jin dan manusia untuk beribadah, bahkan kegiatan ibadah ini tidak saja dilakukan oleh manusia sekarang setelah nabi SAW, tetapi ibadah ini merupakan kegiatan manusia sebelum nabi SAW. Oleh karena itu, ibadah adalah misi dan tugas manusia yang Allah tunjukkan. Manusia hidup untuk ibadah bukan untuk yang lainnya. Setiap gerak dan langkah manusia adalah ibadah, apakah dalam bekerja, di rumah, di sekolah, dikampus dan di mana saja. Dengan demikian, ibadah adalah tugas manusia yang perlu dihayati dengan ilmu dan amal.

Hakikat ibadah yang merupakan tugas kehidupan manusia adalah menyembah Allah dan mengingkari thaghut. Motivasi kita beribadah adalah merasakan bahwa begitu banyak nikmat Allah pada diri kita seperti mata, telinga, rezeki, harta, anak, isteri, dan pendidikan yang menyebabkan kita harus selalu bersyukur pada-Nya. Selain itu, motivasi ibadah juga didasarkan kepada rasa keagungan Allah SWT dan kehebatan-kehebatan-Nya yang dapat dilihat dari ciptaan-Nya di alam semesta ini, dengan perasaan bahwa nikmat Allah yang begitu besar dan begitu agungnya Allah, maka kita termotivasi mengabdi hanya kepada Allah saja.

Ibadah yang dilakukan hendaknya merupakan wujud dari penghinaan diri, cinta, dan ketundukan manusia pada Rabb-Nya. Ibadah memiliki berbagai tingkatan yang menentukan hasil ibadah itu sendiri di sisi Allah. Ibadah tanpa diikuti dengan kecintaan dan ketundukan akan menjadikan ibadah sia-sia dan kurang bermakna bagi kehidupan individu tersebut. Begitu pula ibadah tanpa rasa penghinaan diri. Ibadah yang menambah kemantapan apabila dilakukan dengan penuh rasa takut dan harap. Hal ini menunjukkan bahwa ibadah dilakukan secara khusyuk.

Orang awam sering salah kaprah memaknai hakikat ibadah. Ibadah hanya dianggap sekadar kewajiban-kewajiban tertentu, yang terbatas pada shalat, zakat, puasa, dan haji. Orang dikatakan beribadah jika ia mengerjakan keempat hal tersebut. Padahal, Rasulullah tidak pernah membatasi makna ibadah pada hal-hal yang bersifat mahdhah saja, tapi semua amal yang dikerjakan dalam rangka mengharap ridha Allah adalah ibadah juga.

Bahasa ibadah juga sering dikaitkan oleh umat Islam dengan pahala surga dan neraka. Karena dalil Al-Qur`an dan As-Sunah menuturkan demikian. Siapa yang melaksanakan kewajibannya dengan baik, pahalanya adalah surga. Demikian juga sebaliknya, siapa yang tidak mengerjakan kewajibannya dengan baik maka diancam dengan neraka. Dasar dan pegangan ini telah banyak memaksa sebagaian golongan kaum muslim beribadah lantaran iming-iming dan ancaman, surga-kah atau neraka. 

Jika terdapat satu golongan yang beribadah karena faktor surga dan neraka maka sangat lemah pamahaman keislamannya. Pasalnya, ibadah kita bukanlah untuk surga dan neraka, tetapi untuk hal yang lebih mulia, yaitu Allah. Karena kita membutuhkannya dan memerlukan untuk menghamba kepada-Nya.

Selain itu, ibadah yang telah diajarkan Rasulullah saw 1400 tahun lalu, mengandung banyak rahasia penting. Sebagaian ada yang dijelaskan di dalam al-Qur`an dan al-hadits, sebagian lagi masih menjadi misteri bagi umatnya, butuh pencarian dan pengungkapan. Rahasia ini bisa juga didapatkan melalui pengetahuan dan pengalaman spiritual hamba Allah yang selalu diasah. Misalnya, seseorang yang sering berwudhu dengan basuhan doa dan spiritual akan merasakan ketenangan batin dari tekanan dan jauh dari penyakit kulit.

Begitu pula dengan orang yang selalu berpuasa akan cenderung berperilaku arif dan lebih berpenampilan sederhana, karena sabar dan lapar telah mengantarkannya pada pemahaman bahwa harta bukanlah apa-apa bagi dirinya. Jika kita semakin dekat dengan Allah, Dia akan semakin dekat pula untuk membisikkan rahasia amal ibadah yang dikerjakannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar