Sebagaimana yang telah dijelaskan
panjang lebar mengenai pengertian ibadah, kita dapat memahami bahwa ibadah
adalah puncak perendahan diri yang dibarengi dengan puncak kecintaan. Imam Ibnu
Katsir r.a berkata bahwa menurut pengertian syari’at ibadah itu
adalah suatu ungkapan yang memadukan antara kesempurnaan rasa cinta,
ketundukan, dan rasa takut.
Syaikh
Shalih al-Fauzan berkata, “Sebagian ulama mendefinisikan ibadah sebagai
kesempurnaan rasa cinta yang disertai kesempurnaan sikap tunduk:. Beliau
juga menegaskan, “Ibadah yang diperintahkan itu harus mengandung unsur
perendahan diri dan kecintaan. Ibadah ini mengandung tiga pilar; cinta, harap,
dan takut. Ketiga unsur ini harus berpadu. Barangsiapa yang hanya bergantung
kepada salah satu unsur saja maka dia belum dianggap beribadah kepada Allah
dengan sebenarnya. Beribadah kepada Allah dengan modal cinta saja, maka ini
adalah metode kaum Sufi. Beribadah kepada-Nya dengan modal rasa harap semata,
maka ini adalah metode kaum Murji’ah. Adapun beribadah kepada-Nya dengan modal
rasa takut belaka, maka ini adalah jalannya kaum Khawarij”.
Ibadah
juga diartikan dengan tauhid. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat yang
dibawakan oleh Imam Ibnu Katsir dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma mengenai
maksud firman Allah:
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan
orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa”
(QS. al-Baqarah: 21).
Mengenai ayat tersebut, beliau
menjelaskan, “Artinya tauhidkanlah Rabb kalian…”
Di
dalam kitabnya al-’Ubudiyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
menjelaskan bahwa ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridhai
Allah, berupa perkataan atau perbuatan, yang tampak maupun yang tersembunyi). Dari
sini, maka ibadah itu mencakup perkara hati (batin) dan juga perkara lahiriyah.
Sehingga seluruh ajaran agama itu telah tercakup dalam istilah ibadah.
Syaikh
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menerangkan di
dalam Syarh Tsalatsat al-Ushul, bahwa pengertian ibadah bisa
dirangkum sebagai berikut; suatu bentuk perendahan diri kepada Allah yang
dilandasi dengan rasa cinta dan pengagungan dengan cara melaksanakan
perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya sebagaimana yang
dituntunkan dalam syari’at-Nya.
Lebih
jauh, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Ibadah
dibangun di atas dua perkara; cinta dan pengagungan. Dengan rasa cinta maka
seorang akan berjuang menggapai keridhaan sesembahannya (Allah). Dengan
pengagungan maka seorang akan menjauhi dari terjerumus dalam kedurhakaan
kepada-Nya. Karena kamu mengagungkan-Nya maka kamu pun merasa takut kepada-Nya.
Dan karena kamu mencintai-Nya, maka kamu pun berharap dan mencari
keridhaan-Nya.”
Dari
pengertian-pengertian di atas paling tidak kita dapat menarik satu kesimpulan
penting bahwa sesungguhnya ibadah itu ditegakkan di atas rasa cinta dan
pengagungan. Rasa cinta akan melahirkan harapan dan tunduk kepada perintah-Nya,
sedangkan pengagungan akan menumbuhkan rasa takut dan mematuhi
larangan-larangan-Nya. Selain itu, kita juga bisa mengerti bahwa pelaksanaan
ibadah tidak bisa dilakukan secara sembarangan, namun harus mengikuti tuntunan
para rasul ‘alaihimush sholatu was salam. Dalam konteks sekarang,
maka kita semua harus mengikuti petunjuk dan ajaran Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam, nabi dan rasul yang terakhir.
Ibadah
atau amalan akan menjadi benar dan diterima di sisi Allah jika memenuhi dua
syarat utama, yaitu ikhlas dan ittiba’. Sebagian ulama menambahkan syarat
ketiga yaitu aqidah yang benar, sebagaimana disampaikan oleh Syaikh Zaid bin
Hadi al-Madkhali dalam Abraz al-Fawa’id Syarh Arba’ al-Qawaid.
Ikhlas
artinya ibadah itu hanya diperuntukkan kepada Allah dan tidak dipersekutukan
dengan selain-Nya. Ini merupakan kandungan dari syahadat laa ilaaha
illallaah. Lawan dari ikhlas adalah syirik, riya’ dan sum’ah. Riya’ adalah
beribadah karena ingin dilihat orang, sedangkan sum’ah adalah
beribadah karena ingin didengar orang. Ittiba’ maksudnya adalah setia dengan
tuntunan (sunnah) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak
mereka-reka tata cara ibadah yang tidak ada tuntunannya. Ini merupakan
kandungan dari syahadat wa anna Muhammadar rasulullah. Lawan dari ittiba’ adalah ibtida’ atau
membuat bid’ah.
Allah ta’ala berfirman:
“Katakanlah (hai Muhammad): “Sesungguhnya Aku Ini manusia biasa
seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu
adalah Tuhan yang Esa". barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya,
Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan
seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”. (QS. al-Kahfi: 110).
Imam
Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan bahwa amal salih ialah
amalan yang sesuai dengan syari’at Allah, sedangkan tidak mempersekutukan Allah
maksudnya adalah amalan yang diniatkan untuk mencari wajah Allah, inilah dua
rukun amal yang akan diterima di sisi-Nya.
Sebagaimana
orang yang tidak ikhlas amalannya tidak diterima, demikian pula orang yang
tidak ittiba’ alias berbuat bid’ah, maka amalannya pun tidak diterima. Apalagi
orang yang beribadah tanpa keikhlasan dan tanpa ittiba’. Oleh sebab itu para
ulama, di antaranya Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah menafsirkan
bahwa yang dimaksud ahsanu ‘amalan (amal yang terbaik) adalah
amalan yang paling ikhlas dan paling benar. Firman Allah:
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa
di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun”. (Q.S. al-Mulk: 2)
Dengan
demikian untuk beribadah dengan baik, seorang muslim harus memadukan antara shihhatil
iradah (ketulusan niat) dengan shihhatul fahm (kelurusan
pemahaman). Oleh sebab itu Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan
bahwa kedua hal tadi (shihhatul iradahdan shihhatul fahm) merupakan
anugrah dan nikmat terbesar yang diberikan Allah kepada seorang hamba.
Ketulusan niat terwujud di dalam tauhid dan keikhlasan, sedangkan kelurusan
pemahaman terwujud dalam ittiba’ kepada sunnah. Sehingga amat wajar jika para
ulama sangat menekankan kedua pokok yang agung ini.
Hasbi ash-Shiddiqy
menyatakan bahwa hakikat ibadah
adalah ketundukan jiwa
yang timbul karena
hati (jiwa) merasakan cinta
akan Tuhan yang ma'bud
(disembah) dan merasakan
kebesaran-Nya, lantaran beri'tikad bahwa bagi
alam ini ada
kekuasaan yang akal
tidak dapat mengetahui hakikatnya".
Yusuf
Qardhawi menyatakan bahwa dalam
syari'at Islam, ibadah mempunyai dua
unsur, yaitu ketundukan dan kecintaan yang paling dalam kepada Allah.
Unsur yang tertinggi adalah ketundukan, sedangkan
kecintaan merupakan implementasi
dari ibadah tersebut.
Di samping itu,
ibadah juga mempunyai
unsur kehinaan, yaitu kehinaan yang
paling rendah di
hadapan Allah. Pada
mulanya ibadah merupakan hubungan,
karena adanya hubungan
hati dengan yang
dicintai, menuangkan isi hati,
kemudian tenggelam dan merasakan
keasyikan, yang akhirnya sampai
kepada puncak kecintaan kepada Allah.
Orang
yang tunduk kepada orang lain serta mempunyai unsur kebencian tidak dinamakan
'abid (orang yang
beribadah), begitu pula
orang yang cinta kepada
sesuatu tetapi tidak
tunduk kepadanya, seperti orang cinta kepada anak atau temannya.
Kecintaan yang sejati adalah kecintaan kepada Allah. Apabila makna
ibadah yang diberikan
oleh masing-masing ahli
ilmu diperhatikan baik-baik, nyatalah
bahwa pengertian yang
diberikan oleh satu golongan
menyempurnakan pengertian yang
diberikan oleh golongan
lain. Dengan kata lain,
masing-masing pengertian saling
melengkapi dan
menyempurnakan. Oleh karena
itu, tidaklah dipandang
telah beribadah (sempurna ibadahnya)
seorang mukallaf kalau
hanya mengerjakan ibadah-ibadah dalam pengertian fuqaha
atau ahli ushul saja, melainkan di samping
ia beribadah dengan ibadah dalam
pengertian fuqaha tersebut,
ia juga melakukan ibadah dengan
ibadah yang dimaksudkan oleh ahli tauhid, ahli hadis, ahli tafsir serta ahli
akhlak. Maka apabila telah terkumpul pengertian-pengertian tersebut, barulah terdapat padanya hakikat
ibadah.
Allah telah ciptakan jin dan
manusia untuk beribadah, bahkan kegiatan ibadah ini tidak saja dilakukan oleh
manusia sekarang setelah nabi SAW, tetapi ibadah ini merupakan kegiatan manusia
sebelum nabi SAW. Oleh karena itu, ibadah adalah misi dan tugas manusia yang
Allah tunjukkan. Manusia hidup untuk ibadah bukan untuk yang lainnya. Setiap
gerak dan langkah manusia adalah ibadah, apakah dalam bekerja, di rumah, di
sekolah, dikampus dan di mana saja. Dengan demikian, ibadah adalah tugas
manusia yang perlu dihayati dengan ilmu dan amal.
Hakikat ibadah yang merupakan
tugas kehidupan manusia adalah menyembah Allah dan mengingkari thaghut.
Motivasi kita beribadah adalah merasakan bahwa begitu banyak nikmat Allah pada
diri kita seperti mata, telinga, rezeki, harta, anak, isteri, dan pendidikan
yang menyebabkan kita harus selalu bersyukur pada-Nya. Selain itu, motivasi
ibadah juga didasarkan kepada rasa keagungan Allah SWT dan
kehebatan-kehebatan-Nya yang dapat dilihat dari ciptaan-Nya di alam semesta
ini, dengan perasaan bahwa nikmat Allah yang begitu besar dan begitu agungnya
Allah, maka kita termotivasi mengabdi hanya kepada Allah saja.
Ibadah yang dilakukan
hendaknya merupakan wujud dari penghinaan diri, cinta, dan ketundukan manusia
pada Rabb-Nya. Ibadah memiliki berbagai tingkatan yang menentukan hasil ibadah
itu sendiri di sisi Allah. Ibadah tanpa diikuti dengan kecintaan dan ketundukan
akan menjadikan ibadah sia-sia dan kurang bermakna bagi kehidupan individu
tersebut. Begitu pula ibadah tanpa rasa penghinaan diri. Ibadah yang menambah
kemantapan apabila dilakukan dengan penuh rasa takut dan harap. Hal ini
menunjukkan bahwa ibadah dilakukan secara khusyuk.
Orang awam sering salah kaprah
memaknai hakikat ibadah. Ibadah hanya dianggap sekadar kewajiban-kewajiban
tertentu, yang terbatas pada shalat, zakat, puasa, dan haji. Orang dikatakan
beribadah jika ia mengerjakan keempat hal tersebut. Padahal, Rasulullah tidak
pernah membatasi makna ibadah pada hal-hal yang bersifat mahdhah saja, tapi
semua amal yang dikerjakan dalam rangka mengharap ridha Allah adalah ibadah
juga.
Bahasa ibadah juga sering
dikaitkan oleh umat Islam dengan pahala surga dan neraka. Karena dalil
Al-Qur`an dan As-Sunah menuturkan demikian. Siapa yang melaksanakan
kewajibannya dengan baik, pahalanya adalah surga. Demikian juga sebaliknya,
siapa yang tidak mengerjakan kewajibannya dengan baik maka diancam dengan
neraka. Dasar dan pegangan ini telah banyak memaksa sebagaian golongan kaum
muslim beribadah lantaran iming-iming dan ancaman, surga-kah atau neraka.
Jika terdapat satu golongan
yang beribadah karena faktor surga dan neraka maka sangat lemah pamahaman
keislamannya. Pasalnya, ibadah kita bukanlah untuk surga dan neraka, tetapi
untuk hal yang lebih mulia, yaitu Allah. Karena kita membutuhkannya dan
memerlukan untuk menghamba kepada-Nya.
Selain itu, ibadah yang telah
diajarkan Rasulullah saw 1400 tahun lalu, mengandung banyak rahasia penting.
Sebagaian ada yang dijelaskan di dalam al-Qur`an dan al-hadits, sebagian lagi
masih menjadi misteri bagi umatnya, butuh pencarian dan pengungkapan. Rahasia
ini bisa juga didapatkan melalui pengetahuan dan pengalaman spiritual hamba
Allah yang selalu diasah. Misalnya, seseorang yang sering berwudhu dengan basuhan
doa dan spiritual akan merasakan ketenangan batin dari tekanan dan jauh dari
penyakit kulit.
Begitu pula dengan orang yang
selalu berpuasa akan cenderung berperilaku arif dan lebih berpenampilan
sederhana, karena sabar dan lapar telah mengantarkannya pada pemahaman bahwa
harta bukanlah apa-apa bagi dirinya. Jika kita semakin dekat dengan Allah, Dia
akan semakin dekat pula untuk membisikkan rahasia amal ibadah yang
dikerjakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar