Laman

Senin, 16 April 2012

Akibat Memakan Riba


Ketika Allah s.w.t. memberikan mukjizat kepada hamba dan kekasih-Nya, Nabi Muhammad s.a.w. berupa Isra’ Mi’raj, pada saat itu pula Allah s.w.t. memperlihatkan berbagai kejadian kepada Beliau yang kelak akan memimpin jagat raya ini. Di antaranya Rasulullah melihat adanya beberapa orang yang tengah disiksa di Neraka, perut mereka besar bagaikan rumah yang sebelumnya tidak pernah disaksikan Rasulullah s.aw. Kemudian Allah s.w.t. tempatkan orang-orang tersebut di sebuah jalan yang tengah dilalui kaumnya Fir’aun yang mereka adalah golongan paling berat menerima siksa dan adzab Allah di hari Kiamat. Para pengikut Fir’aun ini melintasi orang-orang yang sedang disiksa api dalam Neraka tadi. Melintas bagaikan kumpulan onta yang sangat kehausan, menginjak orang-orang tersebut yang tidak mampu bergerak dan pindah dari tempatnya disebabkan perutnya yang sangat besar seperti rumah. Akhirnya Rasulullah s.a.w. bertanya kepada malaikat Jibril yang menyertainya,
“Wahai Jibril, siapakah orang-orang yang diinjak-injak tadi?”
Jibril menjawab, “Mereka itulah orang-orang yang makan harta riba".

Dalam syariat Islam, riba diartikan dengan bertambahnya harta pokok tanpa adanya transaksi jual beli sehingga menjadikan hartanya itu bertambah dan berkembang dengan sistem riba. Maka setiap pinjaman yang diganti atau dibayar dengan nilai yang harganya lebih besar, atau dengan barang yang dipinjamkannya itu menjadikan keuntungan seseorang bertambah dan terus mengalir, maka perbuatan ini adalah riba yang jelas-jelas diharamkan oleh Allah s.w.t. dan Rasul-Nya s.a.w., dan telah menjadi ijma’ ulama atas keharamannya.


Dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 270, Allah s.w.t. berfirman:
“Allah menghilangkan berkah riba dan menyuburkan shadaqah, dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa”. (QS. Al-Baqarah: 270).


Barang-barang haram yang tiada terhitung banyaknya sampai menyusahkan dan memberatkan mereka ketika harus cepat-cepat berjalan pada hari Pembalasan. Setiap kali akan bangkit berdiri, mereka jatuh kembali, padahal mereka ingin berjalan bergegas-gegas bersama kumpulan manusia lainnya namun tiada sanggup melakukannya akibat maksiat dan perbuatan dosa yang mereka pikul.



Maha Besar Allah yang telah berfirman:

“Orang-orang yang memakan (mengambil) riba tidak dapat berdiri kecuali seperti berdirinya orang yang kemasukan syetan lantaran tekanan penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat): Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS. Al-Baqarah: 275).




Dalam menafsirkan ayat ini, sahabat Ibnu Abbas r.a. berkata:
“Orang yang memakan riba akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan gila lagi tercekik”.


Imam Qatadah juga berkata:
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta riba akan dibangkitkan pada hari Kiamat dalam keadaan gila sebagai tanda bagi mereka agar diketahui para penghuni padang mahsyar lainnya kalau orang itu adalah orang yang makan harta riba.”


Dalam Shahih Al-Bukhari dikisahkan, bahwasanya Rasulullah s.a.w. bermimpi didatangi dua orang laki-laki yang membawanya pergi sampai menjumpai sebuah sungai penuh darah yang di dalamnya ada seorang laki-laki dan di pinggir sungai tersebut ada seseorang yang di tangannya banyak bebatuan sambil menghadap ke pada orang yang berada di dalam sungai tadi. Apabila orang yang berada di dalam sungai hendak keluar, maka mulutnya diisi batu oleh orang tersebut sehingga menjadikan dia kembali ke tempatnya semula di dalam sungai. Akhirnya Rasulullah s.a.w. bertanya kepada dua orang yang membawanya pergi, maka dikatakan kepada beliau: “Orang yang engkau saksikan di dalam sungai tadi adalah orang yang memakan harta riba.”

Dalam riwayat yang shahih, sahabat Jabir r.a. mengatakan:
Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang memakan riba, yang memberi makan riba, penulisnya dan kedua orang yang memberikan persaksian, dan beliau bersabda: “Mereka itu sama”. (H.R. Muslim)


Semaraknya praktek riba selama ini tidak lepas dari propaganda musuh-musuh Islam yang menjadikan umat Islam lebih senang untuk menyimpan uangnya di bank-bank, lebih-lebih dengan semaraknya kasus-kasus pencurian dan perampokan serta berbagai adegan kekerasan yang semakin merajalela. Bahkan sistem simpan pinjam dengan bunga pun sudah dianggap biasa dan menjadi satu hal yang mustahil bila harus dilepaskan dari perbankan. Umat tidak lagi memperhatikan mana yang halal dan mana yang haram. Riba dianggap sama dengan jual beli yang diperbolehkan menurut syari’at Islam. Kini kita saksikan, gara-gara bunga berapa banyak orang yang semula hidup bahagia pada akhirnya menderita tercekik dengan bunga yang ada. Musibah dan bencana telah meresahkan masyarakat, karena Allah yang menurunkan hukum-Nya atas manusia telah mengizinkan malapetaka atas suatu kaum jika kemaksiatan dan kedurhakaan telah merejalela di dalamnya.


Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Abu Ya’la dan isnadnya jayyid, bahwasannya Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda:
“Tidaklah perbuatan zina dan riba itu nampak pada suatu kaum, kecuali telah mereka halalkan sendiri siksa Allah atas diri mereka.”

Dan dari bencana yang ditimbulkan karena memakan riba tidak saja hanya sampai di sini, bahkan telah menjadikan hubungan seorang hamba dengan Rabbnya semakin dangkal yang tidak lain dikarenakan perutnya yang telah dipadati benda-benda haram. Sehingga nasi yang dimakannya menjadi haram, pakaian yang dikenakannya menjadi haram, motor yang dikendarainya pun haram, dan barang-barang perkakas di rumahnya pun menjadi haram, bahkan ASI yang diminum oleh si kecil pun menjadi haram. Kalau sudah seperti ini, bagaimana mungkin do’a yang dipanjatkan kepada Allah akan dikabulkan jika seluruh harta dan makanan yang ada dirumahnya ternyata bersumber dari hasil praktek riba.

Sebenarnya praktek riba pada awal mulanya adalah perilaku dan tabi’at orang-orang Yahudi dalam mencari nafkah dan mata pencaharian hidup mereka. Dengan sekuat tenaga mereka berusaha untuk menularkan penyakit ini ke dalam tubuh umat Islam melalui bank-bank yang telah banyak tersebar. Mereka jadikan umat ini khawatir untuk menyimpan uang di rumahnya sendiri seiring disajikannya adegan-adegan kekerasan yang menakutkan masyarakat lewat jalur televisi dan media-media massa lainnya, sehingga umatpun bergegas mendepositokan uangnya di bank-bank milik mereka yang mengakibatkan keuntungan yang besar lagi berlipat ganda bagi mereka, menghimpun dana demi melancarkan rencana-rencana jahat zionis dan acara-acara kristiani lainnya. Mereka banyak membantai umat Islam, namun diam-diam tanpa disadari di antara kita telah ada yang membantu mereka membantai saudara-saudara kita semuslim dengan mendepositokan uang kita di bank-bank mereka.

Dalam firman-Nya Allah s.w.t menegaskan:
“Dan disebabkan mereka (orang-orang Yahudi) memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang lain dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka siksa yang pedih”. (Q.S. An-Nisa’: 161).

Lalu pantaskah bila umat Islam mengikuti pola hidup suatu kaum yang Allah pernah mengutuknya menjadi kera dan babi, sedangkan Allah s.w.t. telah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebagian dari orang-orang yang diberi Al-Kitab (Yahudi dan Nashrani), niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi kafir sesudah kamu beriman.” (Q.S. Ali Imran: 100).

Semoga Allah senantiasa menunjukkan kita kepada jalan-Nya yang lurus, yang telah ditempuh oleh para pendahulu kita dari generasi salafush-shalih.

Setelah kita menyadari realitas yang ada, marilah kita sering-sering beristighfar kepada Allah, karena tidak ada obat penyembuh dari kesalahan dan kedurhakaan yang telah kita lakukan kecuali hanya dengan mengakui segala dosa kita lalu beristighfar memohon ampun kepada Allah dan untuk tidak mengulanginya kembali sambil beramal shalih menjalankan ketaatan untuk-Nya, sebagaimana yang dikatakan Nabi Hud a.s. kepada kaumnya:
“Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Rabbmu lalu bertaubatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa.” (Q.S. Hud: 52).

Akhirnya, marilah kita memunajatkan do’a kepada Allah sebagai bukti bahwasanya kita ini fakir di hadapan Allah s.w.t. 

Jumat, 16 Maret 2012

Hikmah Ibadah


Pada  dasarnya  ibadah  membawa  seseorang  untuk  memenuhi  perintah Allah,  bersyukur  atas  nikmat  yang  diberikan  Allah  dan  melaksanakan  hak sesama manusia. Oleh karena  itu,  tidak mesti  ibadah  itu memberikan hasil dan manfaat kepada manusia yang bersifat material,  tidak pula merupakan hal yang mudah  mengetahui  hikmah  ibadah  melalui  kemampuan  akal  yang  terbatas.
Ibadah  merupakan  pengujian  terhadap  manusia  dalam menyembah  Allah.  Ini berarti  ia  tidak  harus  mengetahui  rahasianya  secara  terperinci. Seandainyam ibadah  itu harus sesuai dengan kemampuan akal dan harus mengetahui hikmah atau  rahasianya  secara  terperinci,  tentu orang yang  lemah kemampuan akalnya untuk  mengetahui  hikmah  tersebut  tidak  akan  melaksanakan  atau  bahkan menjauhi  ibadah.  Mereka  akan  menyembah  akal  dan  nafsunya,  tidak  akan menyembah Tuhan.
Mengenai hikmah melaksanakan ibadah ini, al-Ghazali mengungkapkan bahwa  ibadah bertujuan untuk menyembuhkan hati manusia, sebagaimana obat untuk  menyembuhkan  badan  yang  sakit.  Sebagai  contoh  ibadah  dapat menyembuhkan  hati  manusia,  misalnya  seseorang  yang  sedang  resah  dan gelisah,  keresahan  dan  kegelisahannya  dapat  disembuhkan  dengan  shalat. Begitu juga orang yang mempunyai penyakit tamak atau rakus dalam hal makan dan minum, penyakit  tersebut dapat dikurangi bahkan dapat disembuhkan bila orang tersebut rajin berpuasa.
Ibadah juga dapat menyembuhkan badan yang sakit, misalnya saja orang yang mempunyai penyakit reumatik atau pegal-pegal pada persendian tubuhnya, hal  itu  insya  Allah  dapat  disembuhkan  apabila  orang  tersebut  rajin melaksanakan  shalat,  karena  gerakan-gerakan  yang  dilakukan  dalam  shalat menyerupai gerakan olah  raga yang dapat menyehatkan dan melenturkan sendi pada  tubuh manusia.
Begitu  juga orang yang mempunyai penyakit maag,  insya Allah  dapat  dikurangi  bahkan  dapat  disembuhkan  dengan  berpuasa,  karena ketika  seseorang berpuasa  fungsi  lambung  tidak bekerja  terlalu keras  sehingga bisa  beristirahat  dan  ketika  berbuka  disunnahkan  untuk  memakan  makanan yang  manis  dan  lembut  agar  fungsi  lambung  tidak  langsung  bekerja  dengan berat, tetapi bertahap.
Manusia  tidak  semuanya  dapat  mengetahui  keistimewaan  dan  rahasia obat  tersebut,  yang  mengetahui  hanyalah  para  dokter  atau  orang  yang mempunyai spesialisasi  tentang obat  tersebut. Pasien hanya mengikuti perintah dokter dalam menggunakan obat yang cocok sesuai dengan dosisnya. Dia tidak akan  membantah  terhadap  apa  yang  ditentukan  oleh  dokter  tersebut.  Oleh karena  itu, menurut  al-Ghazali,  "ibadah wajib dilaksanakan  sebagaimana yang telah  dicontohkan  oleh  para  Nabi,  karena  mereka  dapat  mengetahui rahasia-rahasianya berdasarkan inspirasi kenabian, bukan dengan kemampuan akal".
Ibadah di dalam syari’at Islam merupakan tujuan akhir yang dicintai dan diridhai-Nya. Karenanyalah Allah menciptakan manusia, mengutus para Rasul dan menurunkan Kitab-Kitab suci-Nya.
          Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka” (Al-Mu’min: 60).
          Ibadah di dalam Islam tidak disyari’atkan untuk mempersempit atau mempersulit penganutnya, dan tidak pula untuk menjatuhkan mereka di dalam kesulitan. Akan tetapi ibadah itu disyari’atkan untuk berbagai hikmah yang agung, kemashlahatan besar yang tidak dapat dihitung jumlahnya. Pelaksanaan ibadah dalam Islam semua adalah mudah.
          Di antara keutamaan ibadah bahwasanya ibadah mensucikan jiwa dan membersihkannya, dan mengangkatnya ke derajat tertinggi menuju kesempurnaan manusiawi. Termasuk keutamaan ibadah juga bahwasanya manusia sangat membutuhkan ibadah melebihi segala-galanya, bahkan sangat darurat membutuhkannya. Karena manusia secara tabi’at adalah lemah, fakir (butuh) kepada Allah. Sebagaimana halnya jasad membutuhkan makanan dan minuman, demikian pula hati dan ruh memerlukan ibadah dan menghadap kepada Allah.m Bahkan kebutuhan ruh manusia kepada ibadah itu lebih besar daripada kebutuhan jasadnya kepada makanan dan minuman, karena sesungguhnya esensi dan subtansi hamba itu adalah hati dan ruhnya, keduanya tidak akan baik kecuali dengan menghadap (bertawajjuh) kepada Allah dengan beribadah. Maka jiwa tidak akan pernah merasakan kedamaian dan ketenteraman kecuali dengan dzikir dan beribadah kepada Allah. Sekalipun seseorang merasakan kelezatan atau kebahagiaan selain dari Allah, maka kelezatan dan kebahagiaan tersebut adalah semu, tidak akan lama, bahkan apa yang ia rasakan itu sama sekali tidak ada kelezatan dan kebahagiaannya.
          Adapun bahagia karena Allah dan perasaan takut kepada-Nya, maka itulah kebahagiaan yang tidak akan terhenti dan tidak hilang, dan itulah kesempurnaan dan keindahan serta kebahagiaan yang hakiki. Maka, barangsiapa yang menghendaki kebahagiaan abadi hendaklah ia menekuni ibadah kepada Allah semata. Maka dari itu, hanya orang-orang ahli ibadah sejatilah yang merupakan manusia paling bahagia dan paling lapang dadanya.
          Tidak ada yang dapat menenteramkan dan mendamaikan serta menjadikan seseorang merasakan kenikmatan hakiki yang ia lakukan kecuali ibadah kepada Allah semata. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata bahwa idak ada kebahagiaan, kelezatan, kenikmatan dan kebaikan hati melainkan bila ia meyakini Allah sebagai Rabb, Pencipta Yang Maha Esa dan ia beribadah hanya kepada Allah saja, sebagai puncak tujuannya dan yang paling dicintainya daripada yang lain.
          Termasuk keutamaan ibadah juga bahwasanya ibadah dapat meringankan seseorang untuk melakukan berbagai kebajikan dan meninggalkan kemunkaran. Ibadah dapat menghibur seseorang ketika dilanda musibah dan meringankan beban penderitaan saat susah dan mengalami rasa sakit, semua itu ia terima dengan lapang dada dan jiwa yang tenang.
          Termasuk juga dalam keutamaannya ibadah, bahwasanya seorang hamba dengan ibadahnya kepada Rabb-nya dapat membebaskan dirinya dari belenggu penghambaan kepada makhluk, ketergantungan, harap dan rasa cemas kepada mereka. Maka dari itu, ia merasa percaya diri dan berjiwa besar karena ia berharap dan takut hanya kepada Allah saja.
          Keutamaan ibadah yang paling besar bahwasanya ibadah merupakan sebab utama untuk meraih keridhaan Allah yang merupakan jalan masuk Surga dan selamat dari siksa Neraka.

Problematika Ibadah dan Pemecahannya


Ibadah adalah perkara tauqifiyah . Artinya tidak ada suatu bentuk ibadah pun yang disyari'atkan kecuali berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Apa yang tidak disyari'atkan berarti bid'ah mardudah (bid'ah yang ditolak), sebagaimana yang telah dijelaskan diatas.
Maksudnya, amalnya ditolak dan tidak diterima, bahkan ia ber-dosa karenanya, sebab amal tersebut adalah maksiat, bukan ta'at. Ke-mudian manhaj yang benar dalam pelaksanaan ibadah yang di-syari'atkan adalah sikap pertengahan. Antara meremehkan dan malas dengan sikap ekstrim serta melampaui batas. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Hud: 112)

Ayat al-Qur'an ini adalah garis petunjuk bagi langkah manhaj yang benar dalam pelaksanaan ibadah. Yaitu dengan ber-istiqamah dalam melaksanakan ibadah pada jalan tengah, tidak kurang atau le-bih, sesuai dengan petunjuk syari'at (sebagaimana yang diperintahkan padamu).
Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui bahwa tiga orang dari sahabatnya melakukan ghuluw dalam ibadah, di mana seorang dari mereka berkata, "Saya puasa terus dan tidak berbuka", dan yang kedua berkata, "Saya shalat terus dan tidak tidur", lalu yang ketiga berkata, "Saya tidak menikahi wanita". Maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda yang artinya:
“Adapun saya, maka saya berpuasa dan berbuka, saya shalat dan tidur, dan saya menikahi perempuan. Maka barangsiapa tidak menyukai jejakku maka dia bukan dari (bagian atau golongan)-ku”. (H. R. Bukhari dan Muslim)
Ada dua golongan yang saling bertentangan dalam soal ibadah. Kedua golongan tersebut adalah:
1. Golongan Pertama
Golongan ini mengurangi makna ibadah serta mere-mehkan pelaksanaannya. Mereka meniadakan berbagai macam ibadah dan hanya melaksanakan ibadah-ibadah yang terbatas pada syi'ar-syi'ar tertentu dan sedikit, yang hanya diadakan di masjid-masjid saja. Tidak ada ibadah di rumah, di kantor, di toko, di bidang sosial, politik, juga tidak dalam peradilan kasus sengketa dan dalam perkara-perkara kehidupan lainnya.
Memang mesjid mempunyai keistimewaan dan harus dipergunakan dalam shalat fardhu lima waktu. Akan tetapi ibadah mencakup seluruh aspek kehidupan muslim, baik di masjid maupun di luar masjid.

2. Golongan Kedua
Golongan ini bersikap berlebih-lebihan dalam praktek ibadah sampai pada batas ekstrim; yang sunnah mereka angkat sampai menjadi wajib, sebagaimana yang mubah mereka angkat menjadi haram. Mereka menghukumi sesat dan salah orang yang menyalahi manhaj mereka, serta menyalahkan pemahaman-pemahaman lainnya. 
Padahal sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan seburuk-buruk perkara adalah yang bid'ah.
Pada dasarnya ibadah itu berlandaskan pada tiga pilar sentral, yaitu: hubb (cinta), khauf (takut) dan raja' (harapan). Rasa cinta harus dibarengi dengan sikap rasa rendah diri, se-dangkan khauf harus dibarengi dengan raja' . Dalam setiap ibadah harus terkumpul unsur-unsur ini. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman tentang sifat hamba-hamba-Nya yang mukmin:
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui. (Q.S. Al-Ma'idah: 54)

Dan dalam ayat yang lain Allah berfirman:
“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal)”. (Q.S. Al-Baqarah: 165).

Selanjutnya, dalam surat al-Anbiya Allah menegaskan:
“Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepada nya Yahya dan kami jadikan isterinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada kami dengan harap dan cemas. dan mereka adalah orang-orang yang khusyu' kepada kami. (Q.S. Al-Anbiya': 90)

Sebagian ulama salaf berkata: "Siapa yang menyembah Allah dengan rasa hubb (cinta) saja maka ia zindiq. Siapa yang menyembah-Nya dengan raja' (harapan) saja maka ia adalah murji'. Dan siapa yang menyembah-Nya hanya dengan khauf (takut) saja, maka ia adalah haruriy. Siapa yang menyembah-Nya dengan hubb, khauf dan raja' maka ia adalah mukmin muwahhid." Hal ini disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Risalah Ubudiyah.
Ibnu Qayyim berkata dalam Nuniyah-nya: "Ibadah kepada Ar-Rahman adalah cinta yang dalam kepada-Nya, beserta kepatuhan penyembahNya. Dua hal ini adalah ibarat dua kutub. Di atas keduanyalah orbit ibadah beredar. Ia tidak beredar sampai kedua kutub itu berdiri tegak. Sumbunya adalah perintah, perintah rasul-Nya. Bukan hawa nafsu dan syetan."
Ibnu Qayyim menyerupakan beredarnya ibadah di atas rasa cinta dan tunduk bagi yang dicintai, yaitu Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan beredarnya orbit di atas dua kutubnya. Beliau juga menyebutkan bahwa beredarnya orbit ibadah adalah berdasarkan perintah rasul dan syari'atnya, bukan berdasarkan hawa nafsu dan setan. Karena hal yang demikian bukanlah ibadah. Apa yang disyari'atkan baginda Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam itulah yang memutar orbit ibadah. Ia tidak diputar oleh bid'ah, nafsu dan khurafat.


Penjelasan:
Yang dimaksud dengan orang yang zalim di sini ialah orang-orang yang menyembah selain Allah.

Hakiqat Ibadah


Sebagaimana yang telah dijelaskan panjang lebar mengenai pengertian ibadah, kita dapat memahami bahwa ibadah adalah puncak perendahan diri yang dibarengi dengan puncak kecintaan. Imam Ibnu Katsir r.a berkata bahwa menurut pengertian syari’at ibadah itu adalah suatu ungkapan yang memadukan antara kesempurnaan rasa cinta, ketundukan, dan rasa takut.

Syaikh Shalih al-Fauzan berkata, “Sebagian ulama mendefinisikan ibadah sebagai kesempurnaan rasa cinta yang disertai kesempurnaan sikap tunduk:. Beliau juga menegaskan, “Ibadah yang diperintahkan itu harus mengandung unsur perendahan diri dan kecintaan. Ibadah ini mengandung tiga pilar; cinta, harap, dan takut. Ketiga unsur ini harus berpadu. Barangsiapa yang hanya bergantung kepada salah satu unsur saja maka dia belum dianggap beribadah kepada Allah dengan sebenarnya. Beribadah kepada Allah dengan modal cinta saja, maka ini adalah metode kaum Sufi. Beribadah kepada-Nya dengan modal rasa harap semata, maka ini adalah metode kaum Murji’ah. Adapun beribadah kepada-Nya dengan modal rasa takut belaka, maka ini adalah jalannya kaum Khawarij”.

Ibadah juga diartikan dengan tauhid. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat yang dibawakan oleh Imam Ibnu Katsir dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma mengenai maksud firman Allah:
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa” (QS. al-Baqarah: 21).

Mengenai ayat tersebut, beliau menjelaskan, “Artinya tauhidkanlah Rabb kalian…”

Di dalam kitabnya al-’Ubudiyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan bahwa ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, berupa perkataan atau perbuatan, yang tampak maupun yang tersembunyi). Dari sini, maka ibadah itu mencakup perkara hati (batin) dan juga perkara lahiriyah. Sehingga seluruh ajaran agama itu telah tercakup dalam istilah ibadah.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menerangkan di dalam Syarh Tsalatsat al-Ushul, bahwa pengertian ibadah bisa dirangkum sebagai berikut; suatu bentuk perendahan diri kepada Allah yang dilandasi dengan rasa cinta dan pengagungan dengan cara melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya sebagaimana yang dituntunkan dalam syari’at-Nya.

Lebih jauh, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Ibadah dibangun di atas dua perkara; cinta dan pengagungan. Dengan rasa cinta maka seorang akan berjuang menggapai keridhaan sesembahannya (Allah). Dengan pengagungan maka seorang akan menjauhi dari terjerumus dalam kedurhakaan kepada-Nya. Karena kamu mengagungkan-Nya maka kamu pun merasa takut kepada-Nya. Dan karena kamu mencintai-Nya, maka kamu pun berharap dan mencari keridhaan-Nya.”

Dari pengertian-pengertian di atas paling tidak kita dapat menarik satu kesimpulan penting bahwa sesungguhnya ibadah itu ditegakkan di atas rasa cinta dan pengagungan. Rasa cinta akan melahirkan harapan dan tunduk kepada perintah-Nya, sedangkan pengagungan akan menumbuhkan rasa takut dan mematuhi larangan-larangan-Nya. Selain itu, kita juga bisa mengerti bahwa pelaksanaan ibadah tidak bisa dilakukan secara sembarangan, namun harus mengikuti tuntunan para rasul ‘alaihimush sholatu was salam. Dalam konteks sekarang, maka kita semua harus mengikuti petunjuk dan ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, nabi dan rasul yang terakhir.

Ibadah atau amalan akan menjadi benar dan diterima di sisi Allah jika memenuhi dua syarat utama, yaitu ikhlas dan ittiba’. Sebagian ulama menambahkan syarat ketiga yaitu aqidah yang benar, sebagaimana disampaikan oleh Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali dalam Abraz al-Fawa’id Syarh Arba’ al-Qawaid.

Ikhlas artinya ibadah itu hanya diperuntukkan kepada Allah dan tidak dipersekutukan dengan selain-Nya. Ini merupakan kandungan dari syahadat laa ilaaha illallaah. Lawan dari ikhlas adalah syirik, riya’ dan sum’ah. Riya’ adalah beribadah karena ingin dilihat orang, sedangkan sum’ah adalah beribadah karena ingin didengar orang. Ittiba’ maksudnya adalah setia dengan tuntunan (sunnah) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak mereka-reka tata cara ibadah yang tidak ada tuntunannya. Ini merupakan kandungan dari syahadat wa anna Muhammadar rasulullah. Lawan dari ittiba’ adalah ibtida’ atau membuat bid’ah.

Allah ta’ala berfirman:
“Katakanlah (hai Muhammad): “Sesungguhnya Aku Ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”. (QS. al-Kahfi: 110).

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan bahwa amal salih ialah amalan yang sesuai dengan syari’at Allah, sedangkan tidak mempersekutukan Allah maksudnya adalah amalan yang diniatkan untuk mencari wajah Allah, inilah dua rukun amal yang akan diterima di sisi-Nya.

Sebagaimana orang yang tidak ikhlas amalannya tidak diterima, demikian pula orang yang tidak ittiba’ alias berbuat bid’ah, maka amalannya pun tidak diterima. Apalagi orang yang beribadah tanpa keikhlasan dan tanpa ittiba’. Oleh sebab itu para ulama, di antaranya Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah menafsirkan bahwa yang dimaksud ahsanu ‘amalan (amal yang terbaik) adalah amalan yang paling ikhlas dan paling benar. Firman Allah:
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”. (Q.S. al-Mulk: 2)

Ikhlas jika dikerjakan karena Allah, sedangkan benar jika dikerjakan dengan mengikuti sunnah (ajaran) Nabi, bukan dengan cara-cara bid’ah. Bid’ah adalah tata cara beragama yang diada-adakan dan menyaingi syari’at, dimaksudkan dengannya untuk berlebih-lebihan dalam ibadah kepada Allah ta’ala. Hal ini memberikan pelajaran berharga kepada kita bahwa syari’at Islam ini mengatur niat dan cara. Niat yang baik juga harus diwujudkan dengan cara dan sarana yang baik pula. Islam tidak mengenal kaidah ala Yahudi, yaitu tujuan menghalalkan segala cara.

Dengan demikian untuk beribadah dengan baik, seorang muslim harus memadukan antara shihhatil iradah (ketulusan niat) dengan shihhatul fahm (kelurusan pemahaman). Oleh sebab itu Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan bahwa kedua hal tadi (shihhatul iradahdan shihhatul fahm) merupakan anugrah dan nikmat terbesar yang diberikan Allah kepada seorang hamba. Ketulusan niat terwujud di dalam tauhid dan keikhlasan, sedangkan kelurusan pemahaman terwujud dalam ittiba’ kepada sunnah. Sehingga amat wajar jika para ulama sangat menekankan kedua pokok yang agung ini.

Hasbi  ash-Shiddiqy  menyatakan  bahwa hakikat  ibadah  adalah  ketundukan  jiwa  yang  timbul  karena  hati  (jiwa) merasakan  cinta  akan  Tuhan yang  ma'bud  (disembah)  dan  merasakan  kebesaran-Nya,  lantaran  beri'tikad bahwa  bagi  alam  ini  ada  kekuasaan  yang  akal  tidak  dapat  mengetahui hakikatnya".

Yusuf Qardhawi menyatakan bahwa dalam  syari'at  Islam,  ibadah mempunyai  dua  unsur,  yaitu  ketundukan  dan kecintaan yang paling dalam kepada Allah. Unsur yang tertinggi adalah  ketundukan,  sedangkan  kecintaan  merupakan  implementasi  dari  ibadah  tersebut.  Di  samping  itu,  ibadah  juga  mempunyai  unsur  kehinaan,  yaitu  kehinaan  yang  paling  rendah  di  hadapan  Allah.  Pada  mulanya  ibadah merupakan  hubungan,  karena  adanya  hubungan  hati  dengan  yang  dicintai, menuangkan  isi  hati,  kemudian  tenggelam  dan merasakan  keasyikan,  yang akhirnya sampai kepada puncak kecintaan kepada Allah.

Orang yang tunduk kepada orang lain serta mempunyai unsur kebencian tidak  dinamakan  'abid  (orang  yang  beribadah),  begitu  pula  orang  yang  cinta kepada  sesuatu  tetapi  tidak  tunduk kepadanya, seperti orang cinta kepada anak atau temannya. Kecintaan yang sejati adalah kecintaan kepada Allah. Apabila  makna  ibadah  yang  diberikan  oleh  masing-masing  ahli  ilmu diperhatikan  baik-baik,  nyatalah  bahwa  pengertian  yang  diberikan  oleh  satu golongan  menyempurnakan  pengertian  yang  diberikan  oleh  golongan  lain. Dengan  kata  lain,  masing-masing  pengertian  saling  melengkapi  dan menyempurnakan.  Oleh  karena  itu,  tidaklah  dipandang  telah  beribadah (sempurna  ibadahnya)  seorang  mukallaf  kalau  hanya  mengerjakan  ibadah-ibadah dalam pengertian  fuqaha  atau  ahli ushul  saja, melainkan di  samping  ia beribadah dengan  ibadah dalam pengertian  fuqaha  tersebut,  ia  juga melakukan ibadah dengan ibadah yang dimaksudkan oleh ahli tauhid, ahli hadis, ahli tafsir serta ahli akhlak. Maka apabila  telah  terkumpul pengertian-pengertian  tersebut, barulah terdapat padanya hakikat ibadah.

Allah telah ciptakan jin dan manusia untuk beribadah, bahkan kegiatan ibadah ini tidak saja dilakukan oleh manusia sekarang setelah nabi SAW, tetapi ibadah ini merupakan kegiatan manusia sebelum nabi SAW. Oleh karena itu, ibadah adalah misi dan tugas manusia yang Allah tunjukkan. Manusia hidup untuk ibadah bukan untuk yang lainnya. Setiap gerak dan langkah manusia adalah ibadah, apakah dalam bekerja, di rumah, di sekolah, dikampus dan di mana saja. Dengan demikian, ibadah adalah tugas manusia yang perlu dihayati dengan ilmu dan amal.

Hakikat ibadah yang merupakan tugas kehidupan manusia adalah menyembah Allah dan mengingkari thaghut. Motivasi kita beribadah adalah merasakan bahwa begitu banyak nikmat Allah pada diri kita seperti mata, telinga, rezeki, harta, anak, isteri, dan pendidikan yang menyebabkan kita harus selalu bersyukur pada-Nya. Selain itu, motivasi ibadah juga didasarkan kepada rasa keagungan Allah SWT dan kehebatan-kehebatan-Nya yang dapat dilihat dari ciptaan-Nya di alam semesta ini, dengan perasaan bahwa nikmat Allah yang begitu besar dan begitu agungnya Allah, maka kita termotivasi mengabdi hanya kepada Allah saja.

Ibadah yang dilakukan hendaknya merupakan wujud dari penghinaan diri, cinta, dan ketundukan manusia pada Rabb-Nya. Ibadah memiliki berbagai tingkatan yang menentukan hasil ibadah itu sendiri di sisi Allah. Ibadah tanpa diikuti dengan kecintaan dan ketundukan akan menjadikan ibadah sia-sia dan kurang bermakna bagi kehidupan individu tersebut. Begitu pula ibadah tanpa rasa penghinaan diri. Ibadah yang menambah kemantapan apabila dilakukan dengan penuh rasa takut dan harap. Hal ini menunjukkan bahwa ibadah dilakukan secara khusyuk.

Orang awam sering salah kaprah memaknai hakikat ibadah. Ibadah hanya dianggap sekadar kewajiban-kewajiban tertentu, yang terbatas pada shalat, zakat, puasa, dan haji. Orang dikatakan beribadah jika ia mengerjakan keempat hal tersebut. Padahal, Rasulullah tidak pernah membatasi makna ibadah pada hal-hal yang bersifat mahdhah saja, tapi semua amal yang dikerjakan dalam rangka mengharap ridha Allah adalah ibadah juga.

Bahasa ibadah juga sering dikaitkan oleh umat Islam dengan pahala surga dan neraka. Karena dalil Al-Qur`an dan As-Sunah menuturkan demikian. Siapa yang melaksanakan kewajibannya dengan baik, pahalanya adalah surga. Demikian juga sebaliknya, siapa yang tidak mengerjakan kewajibannya dengan baik maka diancam dengan neraka. Dasar dan pegangan ini telah banyak memaksa sebagaian golongan kaum muslim beribadah lantaran iming-iming dan ancaman, surga-kah atau neraka. 

Jika terdapat satu golongan yang beribadah karena faktor surga dan neraka maka sangat lemah pamahaman keislamannya. Pasalnya, ibadah kita bukanlah untuk surga dan neraka, tetapi untuk hal yang lebih mulia, yaitu Allah. Karena kita membutuhkannya dan memerlukan untuk menghamba kepada-Nya.

Selain itu, ibadah yang telah diajarkan Rasulullah saw 1400 tahun lalu, mengandung banyak rahasia penting. Sebagaian ada yang dijelaskan di dalam al-Qur`an dan al-hadits, sebagian lagi masih menjadi misteri bagi umatnya, butuh pencarian dan pengungkapan. Rahasia ini bisa juga didapatkan melalui pengetahuan dan pengalaman spiritual hamba Allah yang selalu diasah. Misalnya, seseorang yang sering berwudhu dengan basuhan doa dan spiritual akan merasakan ketenangan batin dari tekanan dan jauh dari penyakit kulit.

Begitu pula dengan orang yang selalu berpuasa akan cenderung berperilaku arif dan lebih berpenampilan sederhana, karena sabar dan lapar telah mengantarkannya pada pemahaman bahwa harta bukanlah apa-apa bagi dirinya. Jika kita semakin dekat dengan Allah, Dia akan semakin dekat pula untuk membisikkan rahasia amal ibadah yang dikerjakannya.

Dasar Hukum dan Hukum Ibadah


I. Dasar Hukum Ibadah
          Dasar hukum atau dalil perintah pelaksanaan ibadah adalah nash al-Quran. Di  dalam  al-Qur'an  banyak  sekali  ayat-ayat  yang menyatakan  perintah kepada hamba  Allah  untuk  melaksanakan  ibadah.  Ibadah  dalam  Islam sebenarnya bukan  bertujuan  supaya Tuhan  disembah  dalam  arti  penyembahan  yang terdapat dalam agama-agama primitif, melainkan sebagai perwujudan rasa syukur atas  nikmat  yang  telah  dikaruniakan  Allah  atas  hamba-hamba-Nya.
Adapun  ayat-ayat  yang  menyatakan  perintah  untuk  melaksanakan  ibadah
tersebut di antaranya sebagai berikut:
1. Surat Yasin ayat 60:
“Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu”. (Q.S. Yasin: 60)

2. Surat adz-Dzariyat ayat 56:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. (Q.S.  adz-Dzariyat: 56)

Dari  ayat  di  atas,  jelaslah  bahwa  Allah menciptakan  jin  dan manusia semata-mata untuk menyembah-Nya, walaupun sebenarnya Allah tidak berhajat untuk disembah ataupun dipuja oleh manusia. Allah adalah Maha Sempurna dan tidak berhajat kepada apapun.

3. Surat an-Nahl ayat 36:
“Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu". Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)”. (Q.S. an-Nahl: 36)

4. Firman Allah dalam surat al-Anbiya ayat 25 :
“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku". (Q.S. al-Anbiya: 25)

5. Firman Allah dalam surat al-Anbiya ayat 92i:
“Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku. (Q.S. al-Anbiya: 92)

          Dari  ayat-ayat  yang  telah  dikemukakan  di  atas,  tampak  jelas  bahwa Allah  memerintahkan  hamba-Nya  untuk  senantiasa  beribadah  kepada-Nya. Diutusnya para Rasul untuk menyampaikan  syari'at yang  telah ditetapkan olehm Allah  kepada  umat  manusia  adalah  supaya  manusia  mengetahui kewajiban-kewajiban  apa  saja  yang  harus  dilaksanakannya  dalam  rangka  mensyukuri nikmat yang telah Allah anugerahkan kepadanya.

II. Hukum-hukum Ibadah
          Dari penjelasan-penjelasan diatas bahwa dapat kita pahami bahwa ibadah adalah mengerjakan segala sesuatu yang diperintahkan oleh Allah seperti amalan wajib dan sunat dan menjauhi segala yang dilarang oleh-Nya seperti haram dan makruh. Dengan demikian hukum melaksanakan Ibadan ada empat, yaitu wajib, sunat, haram, dan makruh.
1. Wajib
Yang dimaksud dengan wajib dalam pengertian hukum islam adalah ketentuan syar’i yang menuntut para mukallaf untuk melakukanya dengan tuntutan yang mengikat serta diberi imbalan pahala bagi yang melakukanya dan ancaman dosa bagi yang meninggalkanya, seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan sebaginya.

2. Sunat
Yang dimaksud dengan sunat adalah ketentuan Syar’i tentang berbagai amaliah yang harus dikerjakan mukallaf dengan tuntutan yang tidak mengikat. Dan pelakunya diberi imbalan pahala tanpa ancaman dosa bagi yang meninggalkanya, seperti membaca al-Quran, Puasa Senin-Kamis, ‘Iktiqaf, sedeqah, dan sebaginya.

3. Haram
Yang dimaksud dengan haram adalah tuntutan syar’i kepada mukallaf untuk meninggalkanya dengan tuntutan yang mengikat, beserta imbalan pahala bagi yang mematuhi untuk meninggalkannya dan balasan dosa bagi yang tidak mematuhi untuk meninggalkannya, sperti zina, mencuri termasuk korupsi, merampok, menipu, dan sebaginya.

4. Makruh
Yang dimaksud dengan makruh adalah tuntutan syar’i kepada mukallaf untuk meninggalkanya dengan tuntutan yang tidak mengikat, beserta imbalan pahala bagi yang mematuhi untuk meninggalkannya dan tidak berdosa bagi yang tidak mematuhi untuk meninggalkannya, sperti memakan bawang, merokok, memakan kepiting, dan sebagainya.

Secara garis besar, ibadah itu dibagi dua, yaitu ibadah pokok yang dalam kajian ushul fiqh dimasukkan dalam hukum wajib, baik wajib ‘ain atau wajib kifayah. Termasuk kedalam kelompok ibadah pokok itu adalah apa yang menjadi rukun islam dalam arti akan dinyatakan keluar dari islam bila sengaja meninggalkannya yaitu ibadah shalat, zakat, puasa, dan haji.
Yang kedua adalah ibadah tambahan yang dalam kajian ushul fiqh dimasukkan dalam hokum sunat, baik sunat muaakkadah, sunat yang mempunyai waktu, maupun sunat mutlaq.
Selain dua pokok tersebut. ibadah juga terbagi menjadi ibadah hati, lisan dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja' (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang) dan rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan dengan hati, lisan dan badan. 
Allah Subhanahu wa Ta'ala memberitahukan, hikmah penciptaan jin dan manusia adalah agar mereka melaksanakan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan Allah Maha Kaya, tidak membutuhkan ibadah mereka, akan tetapi merekalah yang membutuhkannya; karena ketergantungan mereka kepada Allah, maka mereka menyembah-Nya sesuai dengan aturan syari'at-Nya. Maka siapa yang menolak beribadah kepada Allah, ia adalah sombong. Siapa yang menyembah-Nya tetapi dengan selain apa yang disyari'atkan-Nya maka ia adalah mubtadi' (pelaku bid'ah), dan siapa yang hanya menyembah-Nya dengan syari'at-Nya, maka dia adalah muk-min muwahhid (yang mengesakan Allah).


Definisi:
Thaghut ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain dari Allah s.w.t.