Laman

Kamis, 15 Desember 2011

Bila Do'a Tak Dikabulkan


Ibrahim bin Adham adalah seorang tokoh shufi yang terkenal. Beliau adalah raja di Balkh, satu wilayah yang masuk dalam kerajaan Khurasan, menggantikan ayahnya yang baru mangkat.

Sebagaimana umumnya kehidupan para raja, Ibrahim bin Adham juga bergelimang kemewahan. Hidup dalam istana megah berhias permata, emas, dan perak. Setiap kali keluar istana ia selalu di kawal 80 orang pengawal. 40 orang berada di depan dan 40 orang berada di belakang, semua lengkap dengan pedang yang terbuat dari baja yang berlapis emas.

Suatu malam, ketika sedang terlelap tidur di atas dipannya, tiba tiba ia dikejutkan oleh suara langkah kaki dari atas genteng, seperti seseorang yang hendak mencuri. Ibrahim menegur orang itu, “Apa yang tengah kamu lakukan di atas sana?” Orang itu menjawab, “Saya sedang mencari ontaku yang hilang.” “Apa kamu sudah gila, mencari onta di atas genteng,” sergahnya. Namun orang itu balik menyerang, “Tuan yang gila, karena tuan mencari Allah di istana.” Jawabannya membuat Ibrahim tersentak, tidak menyangka akan mendapat jawaban seperti itu. Ia gelisah, kedua matanya tidak dapat terpejam, terus menerus menerawang merenungi kebenaran kata kata itu. Hingga adzan Shubuh berkumandang Ia tetap terjaga.

Esok harinya, keadaannya tidak berubah. la gelisah, murung, dan sering menyendiri. la terus mencari jawaban di balik peristiwa malam itu.

Karena tidak menemukan jawabannya, sementara kegelisahan hatinya semakin berkecamuk, ia mengajak prajuritnya berburu ke hutan, dengan harapan beban di kepalanya sedikin berkurang. Akan tetapi, sepertinya masalah itu terlalu berat baginya, sehingga tanpa disadari kuda tunggangan yang ia pacu sejak tadi telah jauh meninggalkan prajuritnya, ia terpisah dari mereka, jauh ke dalam hutan, menerobos rimbunnya pepohonan tembus ke satu padang rumput yang luas. Kalau saja ia tidak terjatuh bersama kudanya, mungkin ia tidak berhenti.

Ketika ia berusaha bangun, tiba tiba seekor rusa melintas di depannya. Segera ia bangkit, menghela kudanya dengan cepat sambil mengarahkan tombaknya ke tubuh buruannya. Tetapi, saat dia hendak melemparkan tombaknya, ia mendengar bisikan keras seolah memanggil dirinya, “Wahai Ibrahim, bukan untuk itu (berburu) kamu diciptakan dan bukan kepada hal itu pula kamu diperintahkan!”

Namun, Ibrahim terus berlari sambil melihat kiri kanan, tapi tak seorang pun di sana, lalu ia berucap, “Semoga Allah memberikan kutukan kepada Iblis!”

Dia pacu kembali kudanya. Namun, lagi-lagi teguran itu datang. Hingga tiga kali. la lalu berhenti dan berkata, “Apakah itu sebuah peringatan dari Mu? Telah datang kepadaku sebuah peringatan dari Allah, Tuhan semesta alam. Demi Allah, seandainya Dia tidak memberikan perlindungan kepadaku saat ini, pada hari-hari yang akan datang aku akan selalu berbuat durhaka kepadaNya”.

Setelah itu, ia menghampiri seorang penggembala kambing yang ada tidak jauh dari tempat itu. Lalu memintanya untuk menukar pakaiannya dengan pakaian yang ia pakai. Setelah mengenakan pakaian usang itu, ia berangkat menuju Makkah untuk mensucikan dirinya. Dari sinilah drama kesendirian Ibrahim bermula. Istana megah ia tinggalkan dan tanpa seorang pengawal ia berjalan kaki menyongsong kehidupan barunya.

Berbulan bulan mengembara, Ibrahim tiba di sebuah kampung bernama Bandar Nishafur. Di sana ia tinggal di sebuah gua, menyendiri, berdzikir dan memperbanyak lbadah. Hingga tidak lama kemudian, keshalihan, kezuhudan dan kesufiannya mulai dikenal banyak orang. Banyak di antara mereka yang mendatangi dan menawarkan bantuan kepadanya, tetapi Ibrahim selalu menolak.

Beberapa tahun kemudian, ia meninggalkan Bandar Nishafur, dan dalam perjalanan selanjutnya menuju Makkah, hampir di setiap kota yang ia singgahi terdapat kisah menarik tentang dirinya yang dapat menjadi renungan bagi kita, terutama keikhlasan dan ketawadhuannya.

Imam Al Ghazali berkata:

Pernah ditanyakan orang kepada Ibrahim bin Adham, “mengapa do’a kami tidak dikabulkan, padahal Allah telah berfirman: ‘berdo’alah kamu kepadaKu, niscaya Aku perkenankan do’amu”?

Ibrahim bin Adham menanggapi: “Karena hatimu telah mati!”

Ditanyakan lagi, “apa yang mematikannya?”

Ibrahim bin Adham menjawab: “Ada delapan hal yang membuat hatim mati. (1)Kamu telah mengetahui hak Allah, tetapi kamu tidak menunaikan hakNya; (2)kamu membaca Al Quran, tetapi kamu tidak mengamalkan ketentuan yang terdapat di dalamnya; (3)kamu mengatakan: “Kami mencintai Rasulullah SAW, tetapi kamu tidak mengamalkan sunnahnya; (4)kamu mengatakan: “Kami takut menghadapi maut”, tetapi kamu tidak mempersiapkan diri menghadapinya; (5)sesungguhnya Allah SWT telah berfirman: “Sungguh syetan adalah musuh yang nyata bagimu, maka ambillah dia menjadi musuhmu….”, namun kamu berpadu dengan syetan itu melakukan kemaksiatan; (6)kamu mengatakan: “kami takut kepada neraka”, tetapi kamu menganiayai badanmu ke dalamnya; (7)kamu mengatakan: “Kami mencintai surga”, tetapi kamu tidak beramal untuk masuk surga; (8)bila kamu bangun dari peraduanmu, maka kamu mencampakkan ‘aibmu ke belakangmu, dan kamu membentangkan ‘aib orang lain di hadapanmu… Lantaran hal-hal itulah kamu membuat Tuhanmu murka… lantas, bagaimana Dia memperkenankan do’amu?” (lihat, Ihyak ‘ulumuddin” Juz III halaman 38).