Laman

Sabtu, 05 November 2011

Makna IDUL ADHA Bagi Kehidupan

Allah berfirman:
"Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu ni’mat yg banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan sembelihlah hewan. Sesungguhnya orang-orang yg membenci kamu dialah yang terputus" 

Pemberian ni’mat oleh Allah kepada manusia tak terhingga. Anak isteri dan harta kekayaan adalah sebagian ni’mat dari Allah. Kesehatan dan kesempatan juga ni’mat yang sangat penting. Manusia juga diberi ni’mat pangkat, kedudukan, jabatan, dan kekuasaan. Segala yg dimiliki manusia adalah ni’mat dari Allah baik berupa materi maupun non materi. Namun bersamaan dengan itu pula semua ni’mat tersebut sekaligus menjadi cobaan atau ujian fitnah atau bala bagi manusia dalam kehidupannya. Allah berfirman:
"...dan ketahuilah bahwasanya harta kekayaanmu dan anak-anakmu adalah fitnah. Dan sesungguhnya Allah mempunyai pahala yang besar" 

Meskipun Allah memberikan ni’mat-Nya yang tak terhingga kepada manusia, akan tetapi dalam kenyataan Allah melebihkan apa yang diberikan kepada seseorang daripada yang lain. Sehingga ada yang kaya raya, cukup kaya, miskin bahkan ada yang menjadi seorang papa, gelandangan, berteduh di kolong langit. Demikian juga ada yg menjadi penguasa, ada yang rakyat jelata, ada pimpinan/kepala dan ada bawahan/anak buah. Ini semua juga dalam rangka cobaan bagi siapa yang benar-benar mukmin dan siapa yang hanya mukmin di bibir saja. 

Salah satu bukti bahwa seorang mukmin telah lulus cobaan dalam ni’mat harta kekayaan adalah ia dengan ikhlas mengunakannya untuk ibadah kepada Allah, salah satunya haji. Sehingga bagi orang demikian akan memperoleh haji yang mabrur. Sedang haji mabrur pahalanya hanyalah surga sebagaimana sabda Nabi SAW: "Orang yang dapat mencapai haji yang mabrur tiada pahala yang pantas baginya selain surga" 

Betapa gembira dan bahagianya orang kaya yang dapat mencapai haji mabrur. Belum lagi jika ia sempat salat berjamaah di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi maka tiada terkira lagi pahalanya. Namun ini konteksnya adalah orang yang kaya. Sedang orang yang tidak mampu/miskin tidak perlu berkecil hati. Bagi kita yang tidak mampu maka konteksnya terkandung dalam hadis Nabi SAW berikut ini:
“Hajinya orang yang tidak mampu adalah berpuasa pada hari Arafah".
Hari Arafah yang dimaksud adalah tanggal tanggal 9 Dhulhijjah, atau sehari sebelum Idul Adha.

Itulah maka sangat disayangkan bila di antara kita ada yang menyia-nyiakan kesempatan dari Allah yakni tidak mau berpuasa pada tanggal 9 Dhulhijjah yang disebut puasa Arafah itu. 

Cobaan tentang harta kekayaan juga berkaitan dengan pelaksanaan ibadah udhiyah yakni menyembelih hewan yang terkenal dengan hewan qurban di hari raya (Idul Adha). Karena pada hari ini Allah mensyariatkan untuk ber-udhiyah (menyembelih hewan/Qurban), sehingga hari raya ini disebut dengan hari raya Qurban. Demikian juga penjelasan Rasulullah SAW: "Hari raya fitrah adalah pada hari manusia berbuka menyudahi puasa Ramadan. Sedangkan hari raya Adha adalah pada hari manusia ber-udhiyah (ber-Qurban)" 

Maka menjadi salah satu bukti lagi bahwa seseorang lulus dari cobaan harta adalah ia dengan ikhlas mau mengunakannya untuk ber-udhiyah baik itu berupa sapi, kerbau, maupun kambing. Ini tergantung pada kemampuan masing-masing. Seekor kambing boleh digunakan untuk satu orang beserta keluarga seisi rumahnya. Sedang sapi/kerbau boleh utk tujuh orang beserta keluarga seisi rumah mereka masing-masing. Daging sembelihan ini termasuk syiar agama yakni untuk dimakan menjamu tamu baik tamu yang meminta atau yang tidak meminta. Daging ini juga boleh disimpan untuk dimakan hingga hari tasyrik.
Allah berfirman:
"Makanlah sebagiannya dan untuk memberi makan orang yang tidak meminta dan orang yang meminta". {QS. Al-Hajj 36}. 

Sementara Nabi SAW bersabda:
"Makanlah untuk memberi makan dan simpanlah" 

Hari tasyrik yang dimaksud disini adalah 3 hari, yaitu tanggal 11, 12, dan 14 Dhulhijjah atau hari raya ke-2, 3, dan 4

Sementara itu cobaan besar terhadap sesuatu yang dimiliki manusia pernah dialami Abul Anbiya' Khalilurrahman Ibrahim AS. Beliau telah lulus ujian atau cobaan dari Allah. Hal ini didokumentasikan dalam Al-Quran "Dan ketika Ibrahim diberi cobaan oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat lalu Ibrahim lulus dalam cobaan itu. Allah berfirman "Sesungguhnya Aku menjadikan kamu hai Ibrahim Imam semua manusia" 

Kelulusan Nabi Ibrahim tidak hanya dalam melaksanakan perintah Allah tetapi juga dalam kebijaksanaannya menyampaikan perintah itu kepada anaknya yang sangat dicintainya, Ismail. Beliau tidak langsung mengambilnya tiba-tiba dan tidak pula mencari kelengahan atau dengan taktik menculik, teror, dan intimidasi. Meskipun Ibrahim memiliki massa yang banyak tetapi beliau tidak menggunakan massa agar anaknya bertekuk lutut di hadapannya. Perintah Allah disampaikannya dengan transparan penuh argumentasi Ilahiah. 

Sedangkan Ismail anak yang patuh dan mengerti kedudukan orang tuanya dan posisinya sebagai anak ia tidak membangkang dan tidak bimbang. Ismail memberikan jawaban yg memancarkan keimanan tawaddu' dan tawakkal kepada Allah bukan untuk menonjolkan kepahlawanan atau kegagahan mencari popularitas. Ia tidak melakukan unjuk rasa yang konfrontatif tanpa mengindahkan akhlakul karimah atau dengan kekerasan untuk memprotes kehendak bapaknya. 

Sungguh dua tokoh bapak dan anak ini merupakan uswatun hasanah bagi umat manusia. Bahkan syariat Nabi Muhammad SAW merupakan syariat yang dulunya telah diwahyukan Allah kepada Ibrahim. Maka kita menyembelih hewan qurban di hari Idul Adha ini termasuk meneladani sunnah Ibrahim sebagaimana sabda Nabi SAW "Sunnatu abikum Ibrahim"

Idul Adha memiliki makna yang penting dalam kehidupan. Makna ini perlu kita renungkan dalam-dalam dan selalu kita kaji ulang agar kita lulus dari berbagai cobaan Allah. Makna Idul Adha tersebut 

Menyadari kembali bahwa makhluk yang namanya manusia ini adalah kecil belaka betapapun berbagai kebesaran disandangnya. Inilah makna kita mengumandangkan takbir Allahu akbar, Allah Maha Besar. 

Menyadari kembali bahwa tiada yang boleh di-Tuhankan selain Allah. Menuhankan selain Allah bukanlah semata-mata menyembah berhala seperti di zaman jahiliah. Di zaman globalisasi ini orang dapat menuhankan apa yang menjadi kebiasaan dalam hidupnya. Sebagai contoh tidak sedikit orang yang menghabiskan waktunya di depan kumputer dengan alasan mengerjakan tugas, cari bahan di internet, atau bahkan chating, sehingga ia lupa untuk menunaikan kewajibannya kepada Allah, yaitu shalat. Dengan sendirinya orang tersebut sudah menjadikan komputer itu sebagai tuhannya. Na'uzubillah.

Contoh lain yang membuat kita sungguh prihatin, dimana tidak sedikit orang yang rela menghabiskan waktu dan hartanya untuk menyaksikan pertandingan sepak bola. Mereka mau bergadang sampai larut malam, bahkan rela mengeluarkan uang yang tidak sedikit jumlahnya hanya untuk menyaksikan tim atau pemain yang divaforitkannya bermain, sehingga ia lupa kepada anak isterinya dirumah yang menjadi tanggungannya untuk diberi nafkah. Yang lebih memiriskan lagi, mereka mempertaruhkan hartanya untuk berjudi, menggantungkan hidup kepada mereka yang bermain dilapangan. Mereka menganggap permainan tersebut sebagai ladang rezeki baginya. Sesungguhnya mereka telah lupa kepada Allah yang pada hakikatnya sebagai pemberi rezeki.

Menyadari kembali bahwa pada hakikatnya yang memiliki puja dan puji itu hanyalah Allah. Maka alangkah celakanya orang yang gila puja dan puji sehingga kepalanya cepat membesar dadanya melebar dan hidungnya bengah bila dipuji orang lain. Namun segera naik pitam, wajah merah, dan jantung berdetak melambung bila ada orang yang mencela mengkritik dan mengoreksinya. Inilah makna kita kumandangkan tahmid Wa lillahil-hamd. 

Menyadari kembali bahwa manusia ini ibarat sedang melancong atau bepergian yang suatu saat rindu untuk pulang ke tempat tinggal asal yakni tempat yang mula-mula dibangun rumah ibadah bagi manusia Ka'bah Baitullah. Inilah salah satu makna bagi yang istita'ah tidak menunda-nunda lagi berhaji ke Baitullah. Di sini pula manusia disadarkan kembali bahwa pada hakikatnya manusia itu satu keluarga dalam ikatan satu keimanan. Siapapun dia, dari bangsa apapun adalah saudara bila ia mukmin atau muslim. Tetapi bila seseorang itu kafir adalah bukan saudara kita meskipun dia lahir dari rahim ibu yang sama. Maka orang yang pulang dari haji hendaknya menjadi uswatun hasanah bagi warga sekitarnya, tidak membesar-besarkan perbedaan yang dimiliki sesama muslim terutama dalam hal yang disebut furu'iyah. 

Menyadari kembali bahwa segala ni’mat yang diberikan Allah pada hakikatnaya adalah sebagai cobaan atau ujian. Apabila ni’mat itu diminta kembali oleh yang memberi maka manusia tidak dapat berbuat apa-apa. Hari ini jadi konglomerat esok bisa jadi melarat dengan hutang bertumpuk jadi karat. Sekarang berkuasa lusa bisa jadi hina tersia-sia oleh massa. Kemaren jadi kepala kantor dengan mobil Timor entah kapan mungkin bisa jadi bahan humor karena naik sepeda bocor. Sedang ni’mat yang berupa harta hendaknya kita ikhlas untuk berinfaq di jalan Allah seperti untuk ber-udhiyah . 

Percayalah dalam hal harta apabila kita ikhlas di jalan Allah niscaya Allah akan membalasnya dengan berlipat ganda. Tetapi jika kita justru kikir, pelit bin tamak bahkan rakus tunggulah kekurangan kemiskinan dan kegelisahan hati selalu menghimpitnya. 

Akhirnya semoga Idul Adha dengan berbagai ibadah yang kita laksanakan sekarang ini dapat membangunkan kembali tidur kita. Kemudian kita berikhtiar lagi sekuat tenaga utk memperbanyak amal shaleh sebagai pelebur amal-amal buruk selama ini.
Amin...!!!