Ketika Allah s.w.t. memberikan mukjizat kepada hamba dan
kekasih-Nya, Nabi Muhammad s.a.w. berupa Isra’ Mi’raj, pada
saat itu pula Allah s.w.t. memperlihatkan berbagai kejadian kepada Beliau yang
kelak akan memimpin jagat raya ini. Di antaranya Rasulullah melihat adanya
beberapa orang yang tengah disiksa di Neraka, perut mereka besar bagaikan rumah
yang sebelumnya tidak pernah disaksikan Rasulullah s.aw.
Kemudian Allah s.w.t. tempatkan orang-orang tersebut di sebuah jalan yang
tengah dilalui kaumnya Fir’aun yang mereka adalah golongan paling berat
menerima siksa dan adzab Allah di hari Kiamat. Para pengikut Fir’aun ini
melintasi orang-orang yang sedang disiksa api dalam Neraka tadi. Melintas
bagaikan kumpulan onta yang sangat kehausan, menginjak orang-orang tersebut
yang tidak mampu bergerak dan pindah dari tempatnya disebabkan perutnya yang
sangat besar seperti rumah. Akhirnya Rasulullah s.a.w. bertanya kepada malaikat Jibril yang menyertainya,
“Wahai Jibril, siapakah
orang-orang yang diinjak-injak tadi?”
Jibril menjawab, “Mereka itulah
orang-orang yang makan harta riba".
Dalam syariat Islam, riba
diartikan dengan bertambahnya harta pokok tanpa adanya transaksi jual beli
sehingga menjadikan hartanya itu bertambah dan berkembang dengan sistem riba.
Maka setiap pinjaman yang diganti atau dibayar dengan nilai yang harganya lebih
besar, atau dengan barang yang dipinjamkannya itu menjadikan keuntungan
seseorang bertambah dan terus mengalir, maka perbuatan ini adalah riba yang
jelas-jelas diharamkan oleh Allah s.w.t. dan Rasul-Nya s.a.w., dan telah menjadi ijma’ ulama atas keharamannya.
Dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 270, Allah s.w.t. berfirman:
“Allah menghilangkan berkah riba dan menyuburkan shadaqah, dan Allah tidak
menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa”. (QS. Al-Baqarah: 270).
Barang-barang haram yang
tiada terhitung banyaknya sampai menyusahkan dan memberatkan mereka ketika
harus cepat-cepat berjalan pada hari Pembalasan. Setiap kali akan bangkit
berdiri, mereka jatuh kembali, padahal mereka ingin berjalan bergegas-gegas
bersama kumpulan manusia lainnya namun tiada sanggup melakukannya akibat
maksiat dan perbuatan dosa yang mereka pikul.
Maha Besar Allah yang telah
berfirman:
“Orang-orang yang memakan (mengambil) riba tidak dapat berdiri kecuali seperti
berdirinya orang yang kemasukan syetan lantaran tekanan penyakit gila. Keadaan
mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat):
Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba”. (QS. Al-Baqarah: 275).
Dalam menafsirkan ayat ini,
sahabat Ibnu Abbas r.a. berkata:
“Orang yang memakan riba akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan gila
lagi tercekik”.
Imam Qatadah juga berkata:
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta riba akan dibangkitkan pada hari
Kiamat dalam keadaan gila sebagai tanda bagi mereka agar diketahui para
penghuni padang mahsyar lainnya kalau orang itu adalah orang yang makan harta
riba.”
Dalam Shahih Al-Bukhari
dikisahkan, bahwasanya Rasulullah s.a.w. bermimpi didatangi
dua orang laki-laki yang membawanya pergi sampai menjumpai sebuah sungai penuh
darah yang di dalamnya ada seorang laki-laki dan di pinggir sungai tersebut ada
seseorang yang di tangannya banyak bebatuan sambil menghadap ke pada orang yang
berada di dalam sungai tadi. Apabila orang yang berada di dalam sungai hendak
keluar, maka mulutnya diisi batu oleh orang tersebut sehingga menjadikan dia
kembali ke tempatnya semula di dalam sungai. Akhirnya Rasulullah s.a.w. bertanya kepada dua orang yang membawanya pergi, maka dikatakan
kepada beliau: “Orang yang engkau saksikan di dalam sungai tadi adalah orang
yang memakan harta riba.”
Dalam riwayat yang shahih, sahabat Jabir r.a. mengatakan:
Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang memakan riba, yang memberi makan riba,
penulisnya dan kedua orang yang memberikan persaksian, dan beliau bersabda:
“Mereka itu sama”. (H.R. Muslim)
Semaraknya praktek riba
selama ini tidak lepas dari propaganda musuh-musuh Islam yang menjadikan umat Islam
lebih senang untuk menyimpan uangnya di bank-bank, lebih-lebih dengan
semaraknya kasus-kasus pencurian dan perampokan serta berbagai adegan kekerasan
yang semakin merajalela. Bahkan sistem simpan pinjam dengan bunga pun sudah
dianggap biasa dan menjadi satu hal yang mustahil bila harus dilepaskan dari
perbankan. Umat tidak lagi memperhatikan mana yang halal dan mana yang haram.
Riba dianggap sama dengan jual beli yang diperbolehkan menurut syari’at Islam.
Kini kita saksikan, gara-gara bunga berapa banyak orang yang semula hidup
bahagia pada akhirnya menderita tercekik dengan bunga yang ada. Musibah dan
bencana telah meresahkan masyarakat, karena Allah yang menurunkan hukum-Nya atas
manusia telah mengizinkan malapetaka atas suatu kaum jika kemaksiatan dan
kedurhakaan telah merejalela di dalamnya.
Dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan Imam Abu Ya’la dan isnadnya jayyid, bahwasannya Rasulullah
Shalallaahu alaihi wasalam bersabda:
“Tidaklah perbuatan zina
dan riba itu nampak pada suatu kaum, kecuali telah mereka halalkan sendiri
siksa Allah atas diri mereka.”
Dan dari bencana yang
ditimbulkan karena memakan riba tidak saja hanya sampai di sini, bahkan telah
menjadikan hubungan seorang hamba dengan Rabbnya semakin dangkal yang tidak
lain dikarenakan perutnya yang telah dipadati benda-benda haram. Sehingga nasi
yang dimakannya menjadi haram, pakaian yang dikenakannya menjadi haram, motor
yang dikendarainya pun haram, dan barang-barang perkakas di rumahnya pun
menjadi haram, bahkan ASI yang diminum oleh si kecil pun menjadi haram. Kalau
sudah seperti ini, bagaimana mungkin do’a yang dipanjatkan kepada Allah akan
dikabulkan jika seluruh harta dan makanan yang ada dirumahnya ternyata
bersumber dari hasil praktek riba.
Sebenarnya praktek riba
pada awal mulanya adalah perilaku dan tabi’at orang-orang Yahudi dalam mencari
nafkah dan mata pencaharian hidup mereka. Dengan sekuat tenaga mereka berusaha
untuk menularkan penyakit ini ke dalam tubuh umat Islam melalui bank-bank yang
telah banyak tersebar. Mereka jadikan umat ini khawatir untuk menyimpan uang di
rumahnya sendiri seiring disajikannya adegan-adegan kekerasan yang menakutkan masyarakat
lewat jalur televisi dan media-media massa lainnya, sehingga umatpun bergegas
mendepositokan uangnya di bank-bank milik mereka yang mengakibatkan keuntungan
yang besar lagi berlipat ganda bagi mereka, menghimpun dana demi melancarkan
rencana-rencana jahat zionis dan acara-acara kristiani lainnya. Mereka banyak
membantai umat Islam, namun diam-diam tanpa disadari di antara kita telah ada
yang membantu mereka membantai saudara-saudara kita semuslim dengan
mendepositokan uang kita di bank-bank mereka.
Dalam firman-Nya Allah
s.w.t menegaskan:
“Dan disebabkan mereka (orang-orang Yahudi) memakan riba, padahal sesungguhnya
mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang lain
dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir di
antara mereka siksa yang pedih”. (Q.S. An-Nisa’: 161).
Lalu pantaskah bila umat
Islam mengikuti pola hidup suatu kaum yang Allah pernah mengutuknya menjadi
kera dan babi, sedangkan Allah s.w.t. telah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebagian dari orang-orang
yang diberi Al-Kitab (Yahudi dan Nashrani), niscaya mereka akan mengembalikan
kamu menjadi kafir sesudah kamu beriman.” (Q.S. Ali Imran: 100).
Semoga Allah senantiasa
menunjukkan kita kepada jalan-Nya yang lurus, yang telah ditempuh oleh para
pendahulu kita dari generasi salafush-shalih.
Setelah kita menyadari realitas yang ada, marilah kita sering-sering
beristighfar kepada Allah, karena tidak ada obat penyembuh dari kesalahan dan
kedurhakaan yang telah kita lakukan kecuali hanya dengan mengakui segala dosa
kita lalu beristighfar memohon ampun kepada Allah dan untuk tidak mengulanginya
kembali sambil beramal shalih menjalankan ketaatan untuk-Nya, sebagaimana yang
dikatakan Nabi Hud a.s. kepada kaumnya:
“Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Rabbmu lalu bertaubatlah kepada-Nya, niscaya
Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu dan Dia akan menambahkan kekuatan
kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa.” (Q.S. Hud:
52).
Akhirnya, marilah kita memunajatkan do’a kepada Allah sebagai
bukti bahwasanya kita ini fakir di hadapan Allah s.w.t.